Sabtu, Desember 20, 2008

Fashion Dogi Beladiri

Tak hanya pakaian keseharian, baik formal maupun non formal yang menjadi media kreasi para desainer. Pakaian atau seragam seni beladiri (gi atau dogi) pun tak luput dari sentuhan fashion.

Ya, lihat saja uniform seni beladiri tradisional, utamanya yang berasal dari Jepang dan Korea, sudah banyak yang dimodifikasi menjadi seragam beladiri dengan gaya modern.

Dogi Karate, Judo, Jujutsu, Taekwondo, tak lagi semata berwarna putih. Ada yang hitam, merah, biru atau kombinasi beberapa warna, bahkan ada yang bermotif kamuflase layaknya warna seragam militer juga bermotif bendera suatu negara.

Selain desain dan warna, dogi juga dihiasi logo baik logo apparel maupun sponsor dan iklan. Umumnya ini bisa dilihat pada seragam Brazillian Jiu Jitsu (BJJ).

Padahal orang Asia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalisme. Termasuk pula pada pakaian seni beladiri. Namun perkembangan zaman tak bisa dihindari, meski pebeladiri di Asia tetap mengenakan seragam konsep lama, di Eropa dan utamanya di Amerika sisi fashionable menjadi bagian tersendiri dalam dunia seni beladiri.

Sentuhan fashion pada seragam seni beladiri ini diawali di Amerika Serikat, sekitar tahun 60-an. Di era itu bisa dilihat seragam beladiri yang dikenakan Elvis Presley. Meski berlatih beladiri bersimbah peluh, raja rock n roll ini tetap mengenakan dogi khasnya dengan tidak meninggalkan pola krah panjang dan celana cutbrai, ditambah lagi bordiran serta variasi lainnya.

American Free Style Karate hingga sekarang tetap mengenakan dogi berwarna-warni dengan satu kekhasan, memasukkan bagian bawah baju ke dalam celana seperti memakai kemeja. Dogi yang colourful ini mungkin ingin menegaskan bahwa mereka non aliran alias Karate gaya bebas.

Di Indonesia, tampaknya baru pebeladiri Judo yang mengenakan dogi modern ini. Biasanya dogi warna biru (adapula merah, dll) , seperti kerap dikenakan pejudo nasional Krisna Bayu.

Meski dogi-nya fashionable namun ada satu atribut yang sampai sekarang tidak berubah, yaitu sabuk. Sabuk terutama sabuk hitam tetap dibiarkan dengan model standar. Mungkin karena sabuk adalah kehormatan, sehingga kadang dibiarkan sampai warnanya luntur dan kain lapisan luarnya robek-robek. Ya, sabuk tua ini sekaligus menandakan bahwa pemakainya sudah senior. Mungkin. harry
READ MORE - Fashion Dogi Beladiri

Rabu, Desember 03, 2008

Mereka Musisi Beladiri

Tiga tokoh terkenal ini memiliki kesamaan dalam profesi dan hobi. Mereka sama-sama berprofesi sebagai seniman (aktor film dan musisi) dan sama-sama pehobi beladiri.

Tak lain adalah Elvis Presley, Steven Seagal dan Iwan Fals.

Elvis Presley. Musisi sekaligus aktor film ini menjadi idola dunia di era 60-an. Selain menggilai musik dan menekuni seni peran, Elvis juga memiliki minat besar pada seni beladiri.

Di sela kesibukan show dan syuting, Elvis pun menyempatkan waktu belajar memukul dan menendang di Dojo Karate aliran Shotokan. Tahun 1958 saat mengikuti wajib militer dan ditugaskan di Jerman ia belajar dengan Juergen Seydel, kemudian ketika berlibur di Paris, Perancis ia berlatih dengan Tetsugio Murakami, perintis Karate Shotokan di Eropa.

Selain Karate, Elvis juga berguru pada Khang Ree, tokoh Taekwondo di Amerika Serikat. Atas dedikasinya pada seni beladiri, Khang Ree menganugerahinya sabuk hitam kehormatan Taekwondo Dan VII.

Masih belum puas, Elvis melanjutkan hobi beladirinya dengan berlatih beladiri ‘kemasan’ baru, American Kenpo Karate yang diracik sang pendiri, Ed (Edmund) Parker. Tak hanya melatih, salah seorang tokoh beladiri legendaris di Amerika Serikat ini juga kadang menjadi pengawal pribadi sang superstar.

Kemampuan Elvis memukul dan menendang dengan teknik beladiri bisa dilihat pada adegan-adegan perkelahian di film-filmnya. Memang tak sebagus aktor beladiri, namun cukup membantu Elvis dalam mempercantik aktingnya saat adegan berkelahi.

Di tanah air, ada Iwan Fals. Seperti halnya Elvis, Iwan juga musisi yang banyak penggemar. Pelantun tembang hits di tahun 80-an, Oemar Bakrie ini termasuk salah seorang legenda hidup di kancah musik Indonesia.

Selain pintar bermain gitar dan mencipta lagu, Iwan juga pandai memainkan jurus beladiri. Sejak muda Iwan berlatih Karate di perguruan Wadokai. Setelah berkeluarga dan mempunyai anak, putra sulung (almarhum) Galang Rambu Anarki juga diikutkan latihan Karate.

Setelah menyandang sabuk hitam, Iwan yang sempat kuliah di publisistik juga melatih Karate di kampusnya. Di lingkungan tempat tinggal, Iwan juga memiliki dojo.

Hingga sekarang, Iwan yang menyandang Dan IV Karate Wadokai di sela kesibukannya bermusik tetap menyempatkan waktu melatih di dojonya dan sesekali ia berlatih di dojo pendiri Wadokai Indonesia, Shihan Taman.

Kembali ke Amerika Serikat, ada Steven Seagal. Siapa yang tak kenal jago

Aikido Dan VII ini? Film-film awal Steven di era 90-an turut berperan dalam mempromosikan lebih luas Aikido ke berbagai penjuru dunia. Meski ada pro kontra, karena ia lebih banyak menampilkan Aikido keras daripada sisi halusnya di setiap film.

Beberapa tahun terakhir, selain tetap syuting film, Steven Seagal menambah profesi baru sebagai musisi. Hobinya bermain gitar disalurkan lewat beberapa show musik bahkan merilis album. Situs resminya pun sekarang dominan menampilkan Steven Seagal dengan gitarnya. harry

READ MORE - Mereka Musisi Beladiri

Selasa, November 25, 2008

Pencak Silat Jangan Kalah Dengan Beladiri Impor


Pencak silat adalah seni beladiri khas Indonesia. Banyak ragam perguruan dan aliran pencak silat di seantero nusantara. Ada yang tergabung dalam IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) adapula yang berdiri independen.

Sebagai salah satu identitas bangsa, pencak silat juga mulai dikenal di berbagai belahan dunia. Meski belum sepopuler seni beladiri asal China dan Jepang, namun paling tidak promosi tersebut sudah terlihat hasilnya dengan adanya partisipasi beberapa negara setiap kali digelar kejuaran dunia pencak silat.

Ironisnya, di kala pencak silat mulai berkembang di manca negara, di negeri sendiri malah terjadi sebaliknya. Seni beladiri kebanggaan bangsa ini kalah cepat perkembangannya dengan seni beladiri impor.

Era globalisasi juga semakin menyaingi perkembangan pencak silat. Lihat saja, sekarang mulai berdatangan seni beladiri impor lainnya dari Asia Tenggara dan tanah Eropa serta Amerika. Sebut saja macam Mix Martial Arts dari Amerika Serikat, Capoeira dan Brazillian Jiu Jitsu dari Brazil, Krav Maga dari Israel, Arnis/Eskrima dari Filipina.

Di berbagai tempat mudah ditemukan tempat latihan seni beladiri impor, baik berbentuk areal terbuka maupun gedung khusus. Sementara tempat latihan pencak silat tidak banyak ditemukan.

Nasib pencak silat, mirip dengan seni tradisional nusantara lainnya yang di beberapa daerah mulai redup seiring perputaran roda zaman yang semakin modern.

Disayangkan, seni budaya nasional harus ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Padahal, semestinya kita harus bangga dengan budaya sendiri.

Oong Maryono, tokoh pencak silat nasional, dalam sebuah tulisannya mengungkapkan fenomena tersainginya pencak silat oleh ‘invasi’ seni beladiri asing. Sebagaimana kutipan artikelnya:

Kesulitan juga datang dari luar dunia pencak silat, karena persaingan yang ketat dari bela diri impor. Antara 1960-1966, pada waktu terjadi kemerosotan ekonomi dan politik negara yang menimbulkan ketidakberdayaan IPSI, karate secara resmi masuk Indonesia dan dengan tangkasnya memasuki kalangan pelajar dan ABRI.

Dari mulanya, karate dan judo dipraktekkan sebagai olah raga dan dipertandingkan di depan umum. Penerimaan yang positif terhadap bela diri asing, memaksa kalangan pencak silat untuk berpikir dan berbuat lebih baik dalam usaha mengembangkan pencak silat olah raga, atau seperti ditulis oleh salah satu koran masa itu "kehadiran karate di Indonesia merupakan cambuk yang benar-benar efektif untuk 'membangunkan' kalangan pencak dari tidurnya.

Apa yang membuat pencak silat ‘kalah’ oleh seni beladiri asing?

Jika ditelaah, beberapa perbandingan berikut bisa menjadi jawaban:

Seni beladiri asing lebih terbuka dalam penyebaran ajaran. Sebaliknya pencak silat dominan tertutup. Hanya beberapa perguruan/aliran pencak silat yang mau membuka diri dengan memampang papan nama perguruan/aliran dan memperlihatkan lokasi tempat latihan, kemudian mau latihan di tempat terbuka, tidak melulu di dalam ruangan tertutup.

Seni beladiri asing relatif mengenyampingkan sifat superioritas di antara sesama seni beladiri. Contoh, Jepang memiliki karate, judo, shorinji kempo, jujutsu, aikido, ninjutsu, tetapi satu sama lain tidak menganggap lebih unggul. Semua berkembang seiring, terserah orang mau pilih yang mana atau mempelajari dua atau tiga beladiri berbeda. Tidak masalah. Sedangkan pencak silat masih ada perguruan/aliran yang mengutamakan sifat superioritas. Sesama pencak silat berusaha saling mengungguli satu sama lain, bukannya sama-sama bergandengan tangan membangun kebersamaan.

Seni beladiri asing didukung negara asalnya. Sarana latihan didanai pembangunannya demikian pula kegiatan (pertandingan dll). Sebaliknya pencak silat minim dukungan dari pemerintah. Lihat saja selain di Taman Mini, padepokan pencak silat yang representatif bisa dihitung dengan jari. Semestinya setiap pemerintah daerah mau membangun padepokan untuk perkembangan pencak silat. Mendanai segala kegiatan pencak silat.

Seni beladiri asing ‘royal’ berpromosi (mengekspos diri). Promosi kegiatan gencar dilakukan melalui mass media (cetak dan elektronik). Sebaliknya, masih banyak perguruan/aliran pencak silat yang enggan mempublikasikan diri.

Seni beladiri asing rutin kegiatan, baik latihan bersama, pertandingan, seminar dan sebagainya. Sebaliknya pencak silat, minim kegiatan, misalnya pertandingan, jika dibandingkan karate yang setahun bisa sampai 3 kali digelar, pencak silat kurang dari itu.

Tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan seni budaya bangsa sendiri. Melainkan untuk menggugah kita semua agar peduli dengan kenyataan yang ada. Bagaimana seharusnya kita memperlakukan aset bangsa agar bisa mendapat tempat yang lebih tinggi di hati masyarakatnya sendiri. Bagaimanapun perubahan harus dilakukan agar pencak silat tak hanya memiliki pamor di negeri orang tetapi juga di negeri sendiri.

harry

Mau lebih banyak tahu tentang pencak silat?
Download e-booknya di sini

READ MORE - Pencak Silat Jangan Kalah Dengan Beladiri Impor

Jiu Jitsu, Ju Jitsu, Jujitsu, Jujutsu?


Salah satu seni beladiri tua asal Jepang ini ditulis dan dilafalkan dalam tulisan dan pengucapan yang berbeda. Jiu Jitsu, Ju Jitsu, Jujitsu, Jujutsu.

Manakah yang benar di antara keempat istilah atau nama tersebut?

Pada dasarnya orang Jepang menyebut Jujutsu. Sementara lidah orang barat mengeja Jiu Jitsu atau Jiujitsu. Sementara di Indonesia dominan disebut Jujitsu atau Ju Jitsu.

Secarah harfiah kata Ju berarti lentur, fleksibel, halus, lembut. Kata Jutsu berarti teknik atau cara/metode.

Jujutsu berarti bela diri yang fleksibel, ada teknik keras ada juga teknik lembut/halus, ada teknik menyerang ada teknik bertahan, ada teknik menggunakan kekuatan fisik ada pula dengan tenaga dalam, banyak teknik tangan kosong banyak pula teknik menggunakan senjata.

Jujutsu adalah nama general atau umum karena Jujutsu punya banyak aliran dan ciri-ciri teknik yang berbeda. Sama halnya di Indonesia ada pencak silat yang punya banyak aliran, misalnya Merpati Putih, Perisai Diri, Setia Hati Teratai, Tapak Suci, dan lainnya.

Aliran Jujutsu ada yang tradisional (koryu) maupun modern. Ada yang masih terikat dengan tradisi jepang, ada yang sudah lepas dari tradisi jepang misalnya Brazillian Jujutsu.

Intinya Jujutsu menggunakan segala teknik/cara untuk melumpuhkan/menguasai lawan. Pada dasarnya teknik Jujutsu adalah teknik bertarung bebas yang sebenarnya bukanlah sport. Akan tetapi dalam masa modern ini sport Jujutsu juga mulai marak sehingga muncul banyak sekali even–even pertandingan Jujutsu di berbagai negara dengan berskala nasional, regional maupun Internasional

Munculnya seni beladiri ini boleh dikatakan hampir bersamaan dengan beladiri tertua di Jepang yaitu Sumo (230 th SM). Beladiri halus tangan kosong ini semakin dikenal setelah tahun 1603 ketika Shogun tokugawa menyatukan Jepang. Seni Jujutsu merupakan secondary martial art kaum samurai setelah ilmu senjata yaitu kenjutsu= ilmu pedang katana, kyujutsu=ilmu panah, yarijutsu=ilmu pedang, dan lainnya.

Jujutsu merupakan induk berbagai beladiri dari Jepang, Korea, Brazil, Rusia, Israel dan lainnya. Berasal dari Jujutsu di antaranya Judo, Aikido, Kendo, Iaido, Hapkido dan Yudo (Korea), Vale Tudo (Brazil), Sambo (Rusia), Krav Maga (Israel).

Beladiri Judo yang berakar dari Jujutsu kuno, diciptakan oleh prof DR Jigoro Kano pada tahun 1882. Setelah jatuhnya Shogun Tokugawa dan naiknya Kaisar Meiji. Terjadi restorasi atau perubahan kebudayaan dan politik di Jepang. Kaum samurai dibubarkan dan digantikan tentara modern. Jepang mulai membuka diri dengan dunia luar. Senjata tajam pun dilarang di masyarakat umum. Maka konsep beladiri pun berubah seiring seni berperang kuno pun yang lambat laun punah.

Untuk mempertahankan seni beladiri jepang dan berkembangnya seni beladiri untuk kompetisi modern(misalnya olahraga tinju, anggar, wrestling dan lainnya), Jigoro Kano yang waktu itu menjabat sebagai menteri pendidikan punya ide meracik beladiri Jepang sebagai beladiri modern untuk olahraga, kompetisi tanpa meninggalkan aspek beladiri dan filosofi.

Dikumpulkanlah ahli beladiri jujutsu dari berbagai aliran untuk disatukan. Terciptalah Judo. Ju artinya lembut/halus Do= seni/jalan. Sedangkan makna Jutsu diganti karena makna tersebut lebih erat dengan teknik bertempur/berperang. Hasilnya Judo pun jadi beladiri yang dipertandingkan di Olimpiade. Tekniknya pun (dalam kompetisi) dibatasi hanya kuncian siku, lutut dan urat leher.

JUJUTSU ALIRAN KUNO:

  1. Daitoryu Aikijutsu

    Merupakan aliran kuno yang paling terkenal sampai sekarang. Merupakan akar dari beladiri Aikido yang terkenal di seluruh dunia. Bintang yang terkenal dengan gaya ini adalah Steven Seagal. Diciptakan Minamoto Yoshimitsu tahun 1100, seorang bangsawan dari kaum samurai. Terkenal dengan teknik halus dan melingkarnya yang mirip dengan beberapa Kungfu China misalnya Taichi dan Pakua Chang. Beladiri ini juga merupakan cikal bakal beladiri Hapkido Korea yang menggabungkan teknik Daitoryu dengan teknik Taekyon (akar beladiri taekwondo) yang diciptakan Choi Yong Shui, teman seperguruan Morihei Ueshiba pendiri Aikido. Beladiri ini terjadi perbedaan pendapat antara Kuno dan modern. Karena satu-satunya beladiri tradisional yang menggunakan sistem modern Kyu -DAN serta dipelajari oleh banyak orang (karena beladiri tradisional lainnya tidak mau mengajarkan beladirinya ke orang lain dan hanya keturunan saja yang diajarkan).

  2. Hakko-ryu Jujutsu.

    Diciptakan Okuyama Yoshiji atas seizin Sokaku Takeda guru besar Daitoryu Aikijutsu. Ia merevisi Daitoryu agar bisa dipakai masyarakat umum. Memodifikasi teknik agar lebih safe dan muah diaplikasi masyarakat sipil dan kepolisian.

  3. Takenouchi Ryu Jujutsu.

    Diciptakan oleh Pangeran Hisamori Takenouchi tahun 1532. Merupakan aliran paling hebat pada zamannya waktu itu.

  4. Takagi Yoshiryu Jujutsu.

    Diciptakan oleh Takagi Umanosuke tahun 1695. merupakan murid dari Hisamori Takenouchi. Menggabungkan aliran Takenouchi Ryu dengan aliran Takagi Ryu dari keturunan keluarganya. Beladiri ini sekarang masuk kurikulum beladiri Ninjutsu. Misalnya di Bujinkan Ninjutsu dan Genbukan Ninjutsu.

  5. Yoshinryu Jujutsu Kenpo

    Diciptakan seorang dokter dari Nagasaki bernama Akiyama. Ia pergi ke China untuk belajar ilmu pengobatan. Di sana ia juga belajar beladiri Chuanfa/Kungfu (Kenpo dalam lafal Jepang). Punya teknik gabungan antara Kungfu China dengan teknik halus Jujutsu. Merupakan cikal bakal beladiri Karate Wadoryu karena seorang pewarisnya Hironori Othsuka mengawinkan Jujutsu dengan beladiri Karate Okinawa.

  6. Kitoryu Jujutsu

    Merupakan Cikal bakal dan sumber utama beladiri Judo. Diciptakan Chen Yuan Ping Tahun 1648. Seorang ahli keramik dari China yang tinggal di Jepang dan bersahabat dengan tiga samurai yang mengajarkannya beladiri Jujutsu. Kemudian meramunya beladiri Jujutsunya sendiri .

Itu cuma sebagian dari aliran kuno yang banyak sekali bahkan ribuan yang tidak tercatat. Namun jujutsu juga berkembang menjadi beberapa aliran modern. Ada yang masih terikat dengan tradisi jepang ada pula yang lepas. Misalnya Brazilian Jujutsu yang bersumber dari Maeda Mitsuyo kemudian diturunkan kepada Carlos Gracie. Kemudian ada Danzan Ryu Jujutsu, Yanagiryu dan lain-lainnya.

Adapula aliran modern yang masih menggunakan tradisi jepang misalnya Goshinbudo Jujutsu. Aikido dan lainnya. Di Indonesia ada beladiri JCI (Jiujitsu Club Indonesia) dan IJI (Institute Jiujitsu Indonesia). Tapi aliran ini sudah tidak terikat lagi dengan Jujutsu Jepang. Bahkan tekniknya pun sudah digabungkan dengan beladiri lain seperti karate dan pencak silat. Nama-nama jurusnya juga tidak menggunakan nama Jepang. Meskipun diturunkan dari kaum penjajah jepang yang tertinggal di Indonesia. Harry/Rizky

Mau lebih jauh teknik-teknik Jujutsu?

Pelajari di sini



READ MORE - Jiu Jitsu, Ju Jitsu, Jujitsu, Jujutsu?

Antara Do dan Jutsu

Banyak cabang beladiri Jepang mempunyai nama awalan yang sama namun memiliki dua akhiran berbeda, yakni -do dan -jutsu. Bujutsu dan Budo serta Kenjutsu dan Kendo adalah beberapa contoh.

Perbedaan mendasar kedua akhiran ini adalah -do berarti jalan dan -jutsu artinya jurus, ilmu, teknik atau seni. Selain itu dalam seni bela diri berakhiran -do biasanya lebih banyak peraturan yang tidak memungkinkan seseorang untuk terluka akibat serangan yang fatal, namun tidak demikian halnya dengan beladiri yang berakhiran kata –jutsu.

Misalnya kendo, hanya bagian tangan, perut, kaki dan bagian bawah dagu yang boleh diserang, sedangkan kenjutsu membolehkan serangan ke semua bagian tubuh.
Secara umum, budo (bu- artinya prajurit) adalah pengembangan dari bujutsu yang telah disesuaikan dengan zaman sekarang (untuk olahraga, bukan berkelahi).

Beberapa contoh bujutsu yang dikembangkan menjadi budo:
Jujutsu -> Judo
Kenjutsu -> Kendo
Aiki-Jujutsu -> Aikido
Karate jutsu -> Karate-Do
Battoujutsu/Iaijutsu -> Battoudo/Iaido

harry/wikipedia
READ MORE - Antara Do dan Jutsu

Rabu, November 19, 2008

Wishdom

Ketika seorang kerdil menerima tingkatan Dan-nya yang pertama, dia akan segera berlari ke rumahnya dan berteriak sekeras-kerasnya kepada semua orang bahwa dia sudah mendapatkan Dan pertamanya.

Ketika dia menerima Dan dua, dia akan memanjat atap rumahnya dan berteriak kepada orang-orang bahwa ia sekarang memegang Dan dua.

Ketika dia menerima Dan tiga, dia akan melompat ke mobilnya dan berpawai melewati kota dengan membunyikan terompet, memberitahu semua orang tentang Dan tiganya.

Ketika seorang bijak menerima Dan-nya yang pertama, dia akan menundukkan kepalanya dengan diliputi penuh rasa terima kasih.

Ketika dia menerima Dan dua, dia akan menundukkan kepala dan bahunya.

Ketika dia menerima Dan tiga, dia akan menundukkan kepala, bahu dan pinggangnya, selanjutnya diam-diam berjalan di sisi dinding, sehingga orang-orang tidak akan melihat atau memperhatikannya.

(Gichin Funakoshi)

Untuk mendapat seratus kemenangan dalam seratus pertarungan bukanlah kemampuan yang tertinggi. Untuk menaklukkan lawan tanpa bertarung adalah kemampuan yang tertinggi.
(Gichin Funakoshi - My Way of Life)

written by Harry

READ MORE - Wishdom

Antara Kata dan Kumite ( 2 )

Kihon, Kata dan Kumite. Itulah yang dipelajari dalam Karate dan terus menjadi kurikulum utama hingga sekarang. Meski pada mulanya, latihan Karate lebih mementingkan Kihon dan Kata, seperti dilakukan Gichin Funakoshi terhadap murid-muridnya.

Dari Okinawa dengan misi mempromosikan Karate ke Jepang, Funakoshi membawa 16 Kata, yaitu 5 pinan (heian), 3 naihanchi (Tekki), kushanku-dai (Kanku-dai), kushanku-sho (Kanku-sho), seisan (Hangetsu), patsai (bassai-dai), Wanshu (Empi/Enpi),chinto (Gankaku), jutte (jitte) dan Jion.

Dia terus melatih para muridnya Kata dasar, sebelum mereka menunjukkan kemajuan yang berarti untuk meningkat ke tingkat lanjutan. Pada saat itu tidak kurang dari 40 kata masuk dalam kurikulum, kemudian dimasukkan dalam edisi terbatas “Karate-Do for Specialist” yang merupakan karya monumental dari Shigeru Egami (kemudian menjadi guru besar Shotokai).

Kata Shotokan sebagian besar adalah hasil modifikasi Gichin, baik dari penamaan, misalnya Pinan menjadi Heian, begitupula segi teknik gerakan yang lebih dinamis dan harmonis dari gerak asalnya. Gaya Kata Shotokan ini juga banyak dipengaruhi sentuhan Yoshitaka (Gigo) Funakoshi, putra ketiga Gichin Funakoshi. Jumlah Kata yang dipelajari di Shotokan juga ditetapkan menjadi 26 Kata.

Bagi Gichin Funakoshi, Kata adalah Karate yang sesungguhnya. Ungkapan demikian ada benarnya, karena dalam gerakan Kata mengandung unsur Kihon, teknik beladiri (kerap diaplikasi dalam bentuk bunkai) dan teknik Kumite.

Latihan Kata terus menerus yang diajarkan Gichin dengan aturan hito-kata sanen (tiga tahun mempelajari satu kata), kenyataannya membuat jenuh para muridnya. Sehingga pada tahun 1922, tiga muridnya, Miki, Bo dan Hirayama yang berlatih di Universitas Shichin-Tokudo, berpendapat bahwa berlatih Kata saja tidak cukup. Mereka mulai mengenalkan pertarungan bebas (Jiyu Kumite).

Mereka membuat pelindungan badan dan menggunakan pelindung kepala Kendo di dalam pertandingan. Funakoshi mendengar tentang penyimpangan ini, dan tidak menghalangi usaha yang dia anggap telah mengurangi arti seni beladiri Karate.

Adanya Kumite, sebenarnya juga tak lepas dari ‘dukungan’ Gigo Funakoshi yang kadang melatih teknik Kumite selain melatih Kata. Hironori Ohtsuka (kemudian hari mendirikan Wadokai) semasih di Shotokan (melatih di Universitas Shichin-Tokudo) juga turut berperan meletakkan dasar-dasar Kumite.

Funakoshi menghentikan kunjungannya ke Universitas Shichin-Tokudo. Setelah kejadian tersebut Gichin Funakoshi melarang adanya pertandingan karate. (Tidak pernah ada pertandingan karate hingga ia meninggal tahun 1958).

Faktanya, pertandingan Karate digelar setelah Gichin tiada. Salah seorang murid berbakat Gichin, Masatoshi Nakayama, melaui JKA yang dipimpinnya kemudian menggelar even pertama kali di Jepang tersebut.

-----

Di dalam ketulusannya mengajarkan seni beladiri Karate yang baik dan benar, Gichin Funakoshi bukan tanpa hujatan. Kritik menghina kerap didengar menyangkut ketegasannya dalam aturan mempelajari Kata. Pengkritik mengistilahkan Kata sebagai 'lembut' Karate dan belajar teknik itu merupakan hal yang menyia-nyiakan waktu.

Tak banyak yang tahu bahwa Gichin Funakoshi, sebenarnya tidak pernah kalah saat terpaksa harus bertarung dengan lawan-lawannya.

written by Harry
READ MORE - Antara Kata dan Kumite ( 2 )

Antara Kata dan Kumite ( I )

Mana yang lebih diutamakan dalam berlatih Karate. Latihan Kata atau Kumite?

Sejatinya, antara Kata dan Kumite mendapat porsi latihan yang sama. Karena kedua materi itu adalah kurikulum utama setelah Kihon yang satu sama lain saling berkaitan.

Fenomenanya, ada sebagian Karateka yang lebih menyenangi latihan Kata saja, sebagian lagi lebih suka berlatih kumite. Sehingga jika ia seorang atlet, akan terkotak menjadi kategori atlet Kata dan kategori atlet Kumite.

Jika dianalogikan dengan pelajaran di sekolah, ada pelajaran membaca dan berhitung. Mana yang lebih penting di antara kedua mata pelajaran tersebut? Jelas, keduanya penting.

Nah, demikian pula Kata dan Kumite. Akan timpang jika hanya salah satu yang dipelajari. Dan bagaimana pula jika nanti melatih para kohai? Sementara kita hanya mahir Kumite, tak dinyana para kohai bertanya tentang Kata. Demikian pula sebaliknya, pelatih yang mahir Kata akan bingung ditanya tentang Kumite.

Terlepas bagus tidaknya gerakan Kata kita dan hebat tidaknya teknik Kumite kita, yang jelas kedua materi itu harus dipelajari. Jika tekun dilatih, adalah hal yang mungkin kita bisa menguasai keduanya sekaligus.

Banyak Karateka tersohor yang memiliki kemampuan Kata dan Kumite sama baiknya. Contoh, Hirokazu Kanazawa, yang merupakan orang pertama menjuarai turnamen Karate di Jepang. Pendiri SKIF ini dua tahun berturut-turut menyandang jawara Kata dan Kumite saat pertama kali pertandingan Karate diadakan JKA.

written by Harry
READ MORE - Antara Kata dan Kumite ( I )

Persahabatan Karate dan Judo

Masih banyak orang, baik orang awam maupun praktisi seni beladiri, yang suka membanding-bandingkan antara satu seni beladiri dengan seni beladiri yang lain.

Ada yang menganggap seni beladiri A lebih hebat daripada seni beladiri B. Kemudian seni beladiri C lebih jago dari seni beladiri D.

Kadang untuk membuktikan kehebatan seni beladiri yang ia kuasai, dilancarkanlah tantangan kepada praktis seni beladiri yang lain. Begitukah makna kita belajar seni beladiri?

Memang di atas langit ada langit. Tapi bukan berarti harus melemahkan satu sama lain, karena setiap seni beladiri memiliki kelebihan masing-masing.

Satu musuh, terasa kebanyakan. Seribu teman, terasa kekurangan.

Seni beladiri tidak membentuk orang menjadi jagoan. Sebaliknya, seni beladiri membentuk orang memiliki kepribadian yang luhur.

Makna seni beladiri ini setidaknya bisa kita lihat dari sosok Gichin Funakoshi, Guru Besar Karate Shotokan dan Jigoro Kano, pendiri Judo.

Gichin Funakoshi dan karate-nya berasal dari Okinawa. Sedangkan Jigoro Kano dan Judo-nya lahir di Jepang. Lantas, apakah keduanya bertarung untuk merebut simpati masyarakat Jepang sekaligus membuktikan kehebatan seni beladiri masing-masing?

Sebaliknya, kedua ahli seni beladiri tersebut saling menghargai dan menghormati, bahkan menjadi sahabat karib.

Catatan sejarah menyatakan, Jigoro Kano malah banyak membantu kelancaran Gichin Funakoshi dalam pengembangan karate di Jepang. Apakah setelah dojo karate bermunculan kemudian dojo Judo kehilangan murid? Kenyataannya, kedua seni beladiri ini sama-sama berkembang pesat bahkan sama-sama menyebar hingga keluar Jepang.

Saling mengunjungi dojo menjadi aktivitas di sela waktu mereka mengembangkan seni beladiri masing-masing. Keduanya pun mau menyadari kelebihan dan kekurangan dari segi teknik beladiri, sehingga terjadi pertukaran teknik dengan saling mengadopsi teknik satu sama lain.

Beberapa teknik bantingan dan sapuan kaki yang ada di karate adalah inovasi Gichin Funakoshi setelah mempelajari teknik tersebut dari judo. Demikian pula Jigoro Kano, memperkaya teknik judo dengan atemi berupa pukulan dan tendangan yang diambil dari teknik karate.

Selain teknik beladiri, Gichin Funakoshi juga mengadopsi seragam judo yang kemudian dimodifikasi menjadi seragam karate. Ya, karena memang di Okinawa awalnya tak ada pakaian khusus untuk berlatih seni beladiri apapun.

Pakaian untuk berlatih berwarna putih tersebut kemudian dinamakan Karate-gi atau Do-gi atau Keiko-gi, terdiri atas baju (uwagi) dan celana panjang longgar (zubon). Dilengkapi sabuk (obi) tebal berbahan kain yang dijahit kuat berlapis.

Tak hanya pakaian latihan, sistem tingkatan dalam judo yang ditandai dengan warna sabuk, diadopsi pula dalam karate.

Tak salah, jika memang memberikan manfaat untuk kemajuan, ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) adalah hal yang wajar.

Karena dilandasi persahabatan, tak ada egoisme dan fanatisme di antara Gichin Funakoshi dan Jigoro Kano.

Nah, dua guru besar seni beladiri saja mau berjabat tangan. Sekarang bagaimana dengan kita?

written by harry
READ MORE - Persahabatan Karate dan Judo

Jumat, November 07, 2008

Sumpah Karate, Idealkah?


Sumpah Karate!

Sanggup Memelihara Kepribadian
Sanggup Patuh Pada Kejujuran
Sanggup Mempertinggi Prestasi
Sanggup Menjaga Sopan Santun
Sanggup Menguasai Diri

Demikian sering diucapkan para karateka dari sebagian perguruan Karate di Indonesia, anggota FORKI.

Sumpah ini diucapkan sebagai bagian dari susunan upacara (reisiki) di awal dan di akhir latihan.

Jika latihan Karate dua kali seminggu, berarti empat kali mengucap sumpah Karate. Dalam sebulan totalnya bersumpah 16 kali!

Pertanyaannya, apakah seluruh Karateka yang telah berulangkali mengucap sumpah Karate kemudian tindak tanduk atau prilakunya sesuai dengan poin-poin sumpah tersebut?

Jawabannya ada pada diri masing-masing.

Dalam agama, sumpah tidak bisa diucapkan sembarangan. Apalagi jika bersumpah dengan atas nama Tuhan.

Nah, pemikirannya, idealkah jika Sumpah Karate diganti dengan Janji Karate? Tapi janji juga tidak sembarangan, janji harus ditepati. Apalagi, janji itu adalah utang.

Lantas, bagaimana jika diganti menjadi Ikrar Karate? Mungkin dengan kata ikrar akan lebih 'enak' dilanggar.

Sebuah renungan bagi kita.

written by harry
READ MORE - Sumpah Karate, Idealkah?

Minggu, November 02, 2008

Inner Power (2)



Tenaga dalam bagi sebagian masyarakat awam masih dianggap sebagai seni beladiri mistis bin gaib. Anggapan demikian tak sepenuhnya benar namun tak bisa pula dikatakan salah.

Benar, karena memang ada perguruan seni beladiri tenaga dalam yang memasukkan unsur supranatural dalam praktik pengolahan dan aplikasi tenaga dalam.

Salah, karena jika dikaji secara ilmiah, tenaga dalam adalah seni beladiri yang bisa ditangkap secara rasional.

Di Indonesia, secara garis besar ada dua jenis seni beladiri tenaga dalam.
  1. Tenaga dalam yang latihannya memasukkan unsur religi (mengamalkan bacaan-bacan tertentu yang bersumber dari ajaran agama) dan supranatural (ritual khusus, merapal mantera, dan lainnya).
  2. Tenaga dalam yang hanya mengandalkan olah napas dalam praktik latihan maupun aplikasi.
Agar pemahaman tentang tenaga dalam lebih luas lagi, lebih penting dibahas adalah jenis tenaga dalam yang mengandalkan olah napas.

PEMAHAMAN TENAGA DALAM
Tenaga dalam adalah anugerah Illahi yang sebenarnya dimiliki setiap manusia. Hanya saja, tidak semua orang bisa dengan mudah membangkitkan tenaga ini untuk segala keperluan, kecuali melalui proses latihan pengolahan napas. Contoh bukti tenaga dalam adalah saat kita dalam keadaan terdesak, biasanya power itu berfungsi. Kita akan berlari kencang, lebih kencang dari kebiasaan tatkala kita dikejar anjing, misalnya. Dapat mengangkat beban berat yang sejatinya tak mungkin terangkat, misal saat kaki kita terjepit lemari. Setelah bebas dari jepitan lemari, pasti kita langsung memegang kaki yang sakit. Lambat laun sakit mereda. Nah, tak sadar bahwa melalui telapak tangan kita telah mengalir tenaga dalam untuk mengobati rasa sakit. Coba bagian tubuh yang sakit dibiarkan begitu saja, sakitnya tetap terasa, kan?

Melalui pengolahan napas yang sistematis, tenaga dalam dapat digunakan untuk berbagai hal; membeladiri, mengobati penyakit dan menjaga kebugaran. Dalam praktik seni beladiri kadang pula digunakan untuk atraksi pemecahan benda keras dan unjuk kekuatan fisik lainnya (tahan dilindas mobil, berebah di atas paku, kebal senjata tajam dan sebagainya) atau mempertajam indera keenam.

LETAK TENAGA DALAM
Hampir semua perguruan tenaga dalam sepakat letak atau posisi tenaga dalam ada di perut bawah, tepatnya antara pusar dan kemaluan.

METODE
Tenaga dalam olah napas umumnya menggunakan metode pernapasan tarik, tahan, lepas. Artinya menarik napas, menahan napas dan melepas napas. Keluar masuk napas biasanya melalui hidung, meski ada pula yang mengajarkan melalui mulut. Atau kombinasi; tarik lewat hidung, buang lewat mulut.

LOKASI TAHAN NAPAS
Menahan napas ada yang menerapkan tahan di perut dan ada yang menahan di dada.

WAKTU TAHAN NAPAS
Rentang waktu tarik, tahan, lepas, bervariasi. Ada pola segitiga sama sisi (tarik, tahan, lepas dalam waktu yang sama, misalnya per 5 detik atau 10 detik), kemudian segitiga sama kaki (misal; tarik dan tahan sama-sama 5 detik, dan lepas napas begitu saja, tanpa hitungan).

TEKNIK LATIHAN
Umumnya teknik latihan dibagi dua cara, bergerak dan diam. Bergerak yaitu melakukan gerakan jurus tenaga dalam. Diam yaitu mengolah napas dengan posisi duduk (bersila atau duduk di atas pantat dengan kedua kaki melipat ke samping tubuh.

written by Harry

bersambung
READ MORE - Inner Power (2)

Selasa, Oktober 28, 2008

Osu atau Osh?

Satu ucapan yang sama namun berbeda penulisan. Itulah Osu dan Osh.

Mana yang benar? Bagi sebagian praktisi beladiri Jepang terutama Karate tentunya hal ini membingungkan. Meski diucapkan dengan bunyi yang sama, “Os,” namun kata ini dalam bentuk tulisan berbeda hurup akhir. Antara U dan H.

Mungkin tidak masalah jika yang menulis dan membaca tulisan kata itu adalah sama-sama orang Indonesia. Mahfum, kalau ada sedikit kesalahan, karena memang bukan bahasa sendiri. Namun akan jadi soal, jika yang membaca penulisan itu adalah orang Jepang, si pemilik bahasa.

Menurut beberapa praktisi seni beladiri Jepang di tanah air yang notabene memiliki wawasan budaya dan bahasa Jepang, penulisan yang benar adalah Osu.

Sebagaimana dijelaskan Senpai Bachtiar Effendi, owner Fokushotokan.com, indoshotokan.blogspot.com dan mediakarate.blogspot.com, perbedaan penulisan itu dilatarbelakangi pelafalan kata oleh orang Jepang.

“Osu!” Diucapkan dengan intonasi yang agak cepat, sehingga hurup U di akhir kata nyaris tak terdengar. Sehingga bagi telinga kita, terdengar seperti bunyi “Oss” atau “Osh.”

Istilah Osu tidak hanya berlaku dalam karate. Bahkan sebagian klub olah raga di Jepang (tidak hanya karate) menggunakannya. "Osu" secara harfiah berarti iya, baik (tanggapan atas suatu perintah).

Jika diteruskan kira-kira, "iya/baik saya kerjakan". Namun karena karate memang bela diri yang berfilosofis, Osu berkembang menjadi makna yang lebih dalam yaitu kesiapan atau ketahanan mental sorang praktisi karate menghadapi ujian yang berat baik saat latihan atau dalam hidup kesehariannya.

Osu juga berarti rasa terima kasih. Yang lebih penting hormat seorang juhior pada senior (sangat terlihat di Jepang).

Sensei Robert Mustard, sebagaimana dikutip dari aikidoshudokanindonesia.com, menjelaskan, di Jepang, orang-orang yang menggunakan kata “Osu!” adalah olahragawan-olahragawan di SMA dan universitas, serta mereka yang belajar karate.

Di perusahaan–perusahaan, Anda juga akan mendengar kata ini, tapi mereka menggunakannya karena untuk mengatakan “Ohayo gozaimasu” (selamat pagi) dan mereka menyingkatnya menjadi kata Osu!

Selain Karate, seni beladiri Aikido aliran Yoshinkan juga menggunakan kata ini sebagai ucapan salam, tanda menghormati dan sapaan.

Kata “Osu!” aslinya ditulis dalam karakter hurup Cina. Terdiri dua hurup, hurup pertama adalah “Osu!” yang arti dalam kamus adalah “mendorong”. Huruf kedua adalah “Nin” yang artinya adalah Shinobu, yaitu endure (tabah), persevere (bertahan), put up with (toleransi) .

Jika semuanya dijadikan satu, maka artinya menjadi: kita harus memacu diri kita untuk tetap tabah menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pelatihan, maupun dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam budo, “Osu!” juga digunakan untuk memberi salam atau jawaban yang berarti bahwa kita siap untuk mengikuti perintah dan petunjuk pelatih. harry
READ MORE - Osu atau Osh?

Pedang Samurai vs Pedang Ninja


Serupa tapi tak sama. Begitulah kedua senjata tajam khas tradisional Jepang ini. Senjata itu adalah pedang Samurai alias katana dan pedang Ninja alias Ninja To. Sekilas memang mirip, namun jika dicermati ada beberapa perbedaan secara fisik.

Perbedaan yang nyata adalah dari segi ukuran panjang. Katana lebih panjang dari Ninja To. Jika Katana umumnya berukuran panjang 70-90 cm, sedangkan Ninja To panjang 60 cm.

Dari segi bentuk, Katana lebih melengkung daripada Ninja To yang ujudnya cenderung lurus. Bahan besi kedua pedang tersebut juga memiliki warna berbeda. Katana putih mengkilat, sedangkan Ninja To warnanya kehitaman (sesuai warna Ninja) tidak mengkilat namun sama-sama tajam dengan Katana.

Di bagian gagang atau pegangan, pelindung tangan dari tebasan lawan yang dinamakan tsuba, juga berbeda. Tsuba pada Katana umumnya berbentuk bulat sementara Ninja To menggunakan tsuba berbentuk kotak.

Meski berbeda tetapi berasal dari ujud yang sama.

Ihwal sejarah Ninja To ternyata berasal dari Katana. Pedang para Ninja itu merupakan modifikasi dari Katana. Bahan pedang dipungut dari sisa perang kaum Samurai. Kemudian dipotong lebih pendek dan disesuaikan dengan keperluan para Ninja agar mudah dibawa.

Menurut San Moon, praktisi seni beladiri Ninjutsu di tanah air, bentuk Ninja To merupakan adopsi dari pedang China (pedang Tai Chi). Pedang China itu lurus kecuali golok. Pedang ninjutsu juga lurus karena gabungan ilmu Tiong Kok dan Ilmu Jepang.

Satu lagi beda kedua pedang ini. Para Samurai membawa dua pedang berselip di pinggang, satu katana dan satu lagi berukuran lebih pendek. Sementara para Shinobi alias Ninja hanya membawa satu pedang dengan penempatan diikat di punggung. harry
READ MORE - Pedang Samurai vs Pedang Ninja

Rabu, Oktober 22, 2008

MMA Bruce Lee style


Have you heard about mixed martial arts Bruce Lee style?

Well here's the story:

In the days before Bruce Lee an event such as the ultimate fighting championship would have been taboo. Back then karate black belt's would only fight other karate black belts -- kung fu practitioners would only fight other kung fu practitioners and so on. It was unheard of -- and considered almost blasphemy for individuals to train in multiple styles.

So when Bruce Lee introduced Jeet Kune Do as an amalgamation of several disciplines... it was really the birth of today's mixed martial arts.

Bruce Lee then is unquestionably the father of today's modern mixed martial arts -- so says Dana White, president of the UFC. In today's modern fighting arena if you have only studied one martial art you are a huge disadvantage. UFC fighters must study and practice more than one style of martial arts to be successful. This has been proven over and over again in the octagon.

So how would a Bruce Lee fared in the ultimate fighting championship? Many UFC fighters and veterans alike agree that he would've done well. Lee's daughter Shannon was quoted as saying "I think he would've kicked butt!"

And I agree with that. Jeet Kune do is based on 4 different ranges.

* Kicking range
* Punching range
* Clinching range
* Grappling range

To be successful in mixed martial arts/ultimate fighting you must study various martial arts disciplines.

The most popular ones are:

Muay Thai or kickboxing for the kicking range. Western-Style boxing for the punching range, called dirty boxing or Greco-Roman wrestling for the clinching range and Brazilian jujitsu and Sambo for the grappling range.

source: ezinearticles.com
READ MORE - MMA Bruce Lee style

Traditionalism Vs Modernism


The original founders of the arts we call "traditional" may very well have refrained from calling their creations "traditional" because their arts were in the process of developing at the time. We do not talk about traditional football or baseball players because no one practices a form of these sports using older rules, uniforms, or other conventions as separate from contemporary football or baseball. We call "traditional" those who keep alive arts not in current use. A bow and arrow expert might be considered a traditional warrior if he used his weapon in circumstances where others would use M-16's or AK-47's. He would be a traditionalist because in contemporary times, bows and arrows are not used, nor even practiced for use in war. In this sense, all Asian martial arts are traditionalistic.

In self-defense, traditionalism means little. We do what is necessary in self-defense, not what is our art. We do not make sure our wrist reversal looks like the version taught in aikido or Hwarang-do or ju-jutsu or Shorinji Kempo, nor do we make sure we apply a wrist reversal instead of a punch (just because we studied a grappling art) if the punch would be more appropriate. In self-defense, we use whatever we know, whether or not it is recognizable as an art, let alone a traditional art. In self-defense, we are all contemporary eclecticists.

What passes either as traditionalism or modernism is the method of training. All methods of training are shaped by the goals an adherent wishes to achieve. A tournamenteer who trains for open tournament may be referred to as a Modernist, while a Traditionalist, it is said, trains for closed tournaments, but both are using arts in a way which preserve at least a vestige of combat (and are thus Traditionalists), while neither is preserving the art as combat (thus both are Modernists.) Both are developing their arts, but in their own milieu and at their own pace. Practitioners develop their art to improve and achieve within their own goal-structures. The labels which they adhere to themselves do not label their arts but their attitudes.

Traditionalists are in the unfortunate position of having labeled as a "traditional" art that which is no longer in use for actual combat. Those traditionalists who wish to popularize the martial arts, by expanding the influence of their style or the attendance of tournaments, etc., seem to belie their own term for themselves because they wish to popularize the practice of those arts which are no longer used in combat but which can be practiced for many other reasons. Thus, they wish to put into use for other goals that which is no longer used for the original goal. Traditionalists who wish to popularize also wish to become Modernists in that they desire a new use for old practices. Of course, there are those traditionalists who do not wish to apply their arts to modern needs at all but to preserve them for the sake of historical accuracy. These are not really traditionalists in my view but classicists, or perhaps preservationists.

Traditionalism implies an inheritance. Ironically, even modernists have some sort of inheritance; no one has created his own style who has not drawn at least somewhat from existing styles. A modernist would just as soon ignore or at least find fault with his inheritance. A traditionalist recognizes and honors his inheritance and sometimes is limited by it. But the term "traditionalist" should not always imply that a practitioner cannot adapt or change. The act of honoring one's inheritance means that one checks back on what one already has before venturing into the new. Both Funakoshi (founder of Shotokan) and his teacher Itosu (leading instructor of Shorin after Matsumura) changed their arts, but they did not do this haphazardly, rather they employed a great deal of study and tried to improve their art within their tradition. In this respect, one might call even Bruce Lee a traditionalist.

Lee started with the traditional Wing Chun, at first modifying it only slightly to be able to deal with longer-limbed and stronger Americans. From there he went on to develop the more or less modernist Jeet Kune Do, but he always honored his tradition. He had the utmost respect for both his instructor Man Yip, and his senior William Cheung. To this degree he can be considered a traditionalist. To the extent that he wrote about traditional training as bunk, he of course is not honoring tradition. But note that the arts he referred to as the "classical mess" were not his own arts. Not having grown up in these traditions, it was easy for him to poo-poo them, much as people in the Japanese arts which I grew up in poo-pooed Chinese martial arts, much as some people in Korean circles belittle Japanese arts or people in Chinese circles laugh at the simplicity of Korean styles. If one does not understand a system nor develop within it, one can easily find fault with it. This Bruce Lee did and because of it we consider him a rebel and a non-traditional Modernist.

In my opinion, had Bruce Lee withheld his judgment until a later date, he would have recognized that some of those techniques which seemed useless in combat are often simply misunderstood because exposure to in-depth instruction is lacking. Lee should be credited with criticizing martial artists' wholesale belief that externally perceived applications would work literally as taught, and with criticizing the slowness with which Asian instruction revealed what really did work, but one should not assume that the validity of these criticisms implies that all aspects of traditionalism are nonfunctional or purposeless.

Lee's articles, and later his JKD, set a precedent for the development of modernist martial arts. Traditional martial arts were becoming more eclectic due to tournament competition but Lee blew them wide open with his articles in the 1960's. He then advocated a style which was not a style and an art which was not an art. That is fine for the brave advanced practitioner who is interested in the essence of the martial arts as combat arts and enters into that essence without a blueprint. But, Bruce Lee was an experienced martial artist who taught, by and large, experienced martial artists. He had fundamentals to draw on and so did his students. Nowadays people with little experience immediately want to jump into their own eclectic art because they want to be "free". They are simply jumping into a less experienced format, using a blueprint which has not yet built buildings, one which is, in fact, being adjusted as it is printed.

Even eclectic modernist arts have to have a form in order to be communicated. Bruce Lee's "classical messes" were probably over-stringent in insisting that a certain form not be varied and that variance from that certain form should equal stylistic excommunication or damnation to the hell of supposed ineffectiveness. I contend that traditional martial arts produced tested blueprints from which we may expand, grow, and adjust. I am a traditionalist, for instance, because I find the traditional blueprint to have unexpected depth and detail. Movements that I have been repeating for two decades hold new things for me each year. This does not mean, however, that I shut off innovations from the outside. But I contend that innovations, whether from outside a style or from within, innovate from some tradition. Styles do not form from thin air. The question is how extremely do new innovations vary from the tradition of origin? Did not baseball arise as an innovation from cricket? Was not American football an innovation from rugby? Do we not get checkers from chess, automobiles from carriages, calculators from abaci, aerobics from calisthenics, and traditional budo itself from ancient battlefield bugei?

All innovations come from some tradition which has to be developing at some rate. During the slow developmental periods, perhaps the innovations within the art of origin went off on a tangent so that, to contemporary ways of thinking, there was no real improvement. Then some single innovation or group of innovations opened the door to a new, more rapid period of development in which more innovations flowed. Bruce Lee is responsible, I think, for accelerating innovation in the martial arts and should be applauded for it, however, one should not assume that the martial arts were not developing and changing anyway, albeit at a slower rate.

The traditionalist should respect the innovator to the extent that he/she is contributing to the martial arts. The modernist should respect those who wish to study more slowly and in more depth that which is already established. Personally, I respect both. I consider myself an "innovative traditionalist" because I do not believe in staying solely with one's "inheritance", I believe in building on it. Most traditionalists, by in large, look to the hallowed figures of the past. These are the great men of whom we are the feeble descendants. Modernists, conversely, believe that those were the feeble men of whom we are the great descendants. I respect both traditionalist and modernist but concur with neither extreme. Rather, I choose to look toward the future by standing on the shoulders of giants.

Source: Tony Annesi @ezinearticles.com

READ MORE - Traditionalism Vs Modernism

Selasa, Oktober 21, 2008

The Simple Lesson of Water


The students were called together in the main hall. "Today you will learn a simple yet profound lesson," the master said. "It is an easy one that even a small child can do. I want you to find a partner. Now, each pair must choose a blindfold. One of you will wear it, and the other one will lead him or her." One student in each pair then put on a blindfold.
"I have designed a course for you leaders to take your blindfolded partners through," the master continued. "Can you see the different markers that have just been placed around the room?" The leaders looked at the marked course.
"The game is very simple," the master said. 'Guided by your leader, you will feel whatever your leader guides you to. Don't worry-we have no harmful things for you to touch. Everything is safe. Well, there might be a scary thing or two!"
Some of the students shivered at the thought of what they might have to touch, but they agreed to be led around the hall. The blindfolded students touched whatever their leader asked them to touch. Occasionally a scream would break the silence when one of the students touched an object that was scary or unexpected. This made the lesson even more fun.
"Now, those of you who just went through the course blindfolded will go through again without the blindfold," the master said. "This time, feel the objects and look at them."
The students did as they were told, and at the end of the course they once again came to the bowl of water. Each student put a hand into the water, but no one jumped this time.
"How did you feel when you first touched the water with your blindfold on?" the master asked . The students said they were startled by the water and jumped when they touched it.
"Was the water so cold or hot that it made you jump?" the master asked.
"No," a student said. "It was just a surprise. We didn't know it was water."
"And the second time around-without the blindfold-did you jump when you touched the water?" the master asked.
"No," the student said.
"Why not?" the master asked.
"Because I recognized that it was only water," the student said. "I saw it before I felt it, so it didn't surprise me. The first time I couldn't see it, so I didn't know what it was. The second time I couldn't see it, so I didn't know what it was. The second time I could see what it was, and I knew what to expect."
"What can you learn from this lesson that is very simple yet great importance, not only to your life but to world peace?" the teacher asked.
The students were puzzled. What connection could there be between touching water and world peace?
"I don't understand what you mean," the student said. "The only difference between the two instances is that the first time we had no knowledge of the water and did not expect it, so we were surprised. It was like touching something for the first time, like when I was very young and played at the edge of the ocean. It was a new experience. The second time we all knew that the bowl contained water. Therefore, we were not surprised."
"So, you had no knowledge or expectation at first, and therefore you experienced water as if it were new to you," the master said. "That was a very different feeling from the second time when you knew it was water and the experience was just ordinary. Can you see the different state of mind in these two experiences?"
The master continued: "Now think about this lesson and hot it applies to you daily life. How often are things new or extraordinary to you, like when you were a small child. And how much do we 'know' about life-in a way that makes things, people and places old, familiar, rather dead? Can you see the importance of approaching life freshly, without the burden of knowledge from the past?
"Now, let's take a very big leap and apply the experience you've just had to thinking about yourselves in a relationship," the master said. "If your mind hangs onto old memories, especially ones of hurt and fear, and carries those experiences over into new relationships, what happens? Your mind is not fresh or new. It is burdened with past memories and is disturbed. This carrying over a problem from the past creates problems now. If your mind is not peaceful, then the world is not peaceful, for your thoughts create your actions and your actions create the world. If the mind is old, dead, caught in the past, what does the real miracle of ordinary life become? Can we experience life like a small child and really feel the joy of looking afresh at each moment? This, dear students, is at the heart of the martial arts. To have a mind that is not filled with past hopes, fears, hurts, prejudices and hates is to have a mind that is free, peaceful and truly loving. Think deeply about this, for it is the greatest lesson!
"Our activity today was a simple example of how the min, by living in the past, takes the newness out of life. See how the mind does this in other ways, how it stores memories that become 'you' and 'me,';'us' and 'them'-each with our beliefs about life based on those memories. See how this creates conflict by separating us from the other.
"Observe you mind and watch how this occurs, how the brain stores these memories, especially of being hurt emotionally. From past recollections, 'I know that I have been hurt and know I have to protect myself.' And collectively, 'We have been hurt and know we must protect ourselves.' See the danger of this, how it creates war within and without! Oh, students, this may be difficult for you to comprehend, but it is very important. You are not expected to understand all of this now. What you are being asked to do is begin to observe your mind, the mind that is the mind of all people, and to see how certain memories cause conflict in a relationship.
"Just begin with simple observations, as with the bowl of water, and move from there. You will, in so doing, discover the root of human violence and conflict, for it is within ourselves. We create the world; we are the world. When our minds are filled with fear, hurt, anger and hate, we create that in the world. If we can 'empty' the mind of all this unnecessary knowledge, we will really be living the art of 'empty self.' Think deeply about this, for it is the greatest lesson!"
The students and the master bowed at the end of their class.

Source: Terence Webster-http://www.martialinfo.com/article
READ MORE - The Simple Lesson of Water

Inner Power (1)


Sebagai praktisi dari suatu seni beladiri tentunya Kita sering mendengar tentang Ki (dalam seni beladiri Jepang), Chi (dalam seni beladiri China), Prana (dalam seni beladiri India) atau dalam seni beladiri di Indonesia lebih dikenal dengan tenaga dalam. Dalam hal ini penulis menggunakan Ki sebagai hal yang dimaksud.

APA ITU KI?

Ki atau tenaga dalam dalam seni beladiri adalah gabungan pikiran, hati, dan semangat. Seorang praktisi seni beladiri yakin akan adanya kekuatan yang mengalir lewat alam dan hal itu bisa membuka jalan kekuatan ini menjadi selaras dengannya. Ki ini bisa dilatih untuk mencapai keselarasan oleh praktisi beladiri dengan melatih raga dan pikiran hanya memfokuskan pada apa yang sebetulnya penting saat itu. Seorang praktisi seni beladiri harus melatihnya hingga bisa melakukan ini diluar sadar atau ketegangan mental dan praktisi bila merasakan ketegangan mental berarti ada yang kurang dalam Ki.

Bila raga, hati, dan semangat dalam keselarasan ini sudah menyatu pada praktisi seni beladiri maka segala kehidupan yang dijalaninya relatif lebih dikuasai dan orang lain akan merasakan keyakinan yang kuat ini sebagai kehadirian, sebagai kekuatan yang tak terlihat.

KI DITINJAU DARI ILMU PSIKOLOGI

Dalam psikologi orang yang mampu menguasai dirinya dan mengembangkan kepribadian sesuai dengan keinginan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya disebut mencapai aktualisasi diri, yang dalam teori yang dikembangkan oleh Maslow merupakan hirarki tertinggi apa yang harus dicapai oleh manusia. Bila ditinjau dari pembahasan tentang Ki tadi maka aktualisasi diri merupakan Ki tertinggi yang bermanfaat bagi kehidupan.

Tentunya untuk mencapai Ki atau aktualisasi diri kita senantiasa harus mengasahnya dengan belajar dan melatihnya.

Terlepas pengertian Ki yang bersifat kekuatan supranatural, penulis di sini mencoba mengambil pendekatan yang agak filosofi dan ilmiah agar semua praktisi beladiri dapat melatih sehingga dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai hidup yang selaras dan mampu mencapai aktualisasi diri.

Untuk melatih Ki ini kita harus melatih keseimbangan kekuatan dengan melatih dan membentuk empat pilar.

Empat pilar itu adalah:

1. Kejujuran

2. Disiplin

3. Kreativitas

4. Menguasai diri dari rasa takut


KEJUJURAN

Kejujuran merupakan seluruh karakter moral yang harus dijalankan dengan ketulusan, berarti benar terhadap visi dan tujuan anda sendiri.



DISIPLIN

Disiplin adalah belajar dan latihan, orang yang sukses dalam bidang apapun apalagi dalam seni beladiri dan bisa menjadi yang terbaik atau terhebat selalu orang-orang yang membebankan dirinya sendiri dengan disiplin yang lebih keras dari apa saja yang dibebankan oleh orang lain.


KREATIVITAS

Kreativitas, orang selalu terkesan dengan kreativitas, bila kita melakukan sesuatu diluar kebiasaan, terutama sekali jika kita memperlihatkan bahwa kita peduli orang melihatnya. Kreativitas harus menjadi bagian dari kita untuk bertindak.


MENGUASAI DIRI DARI RASA TAKUT

Menguasai diri dari rasa takut, satu-satunya yang harus ditakutkan adalah rasa takut itu sendiri untuk menguasai diri dari rasa takut dengan menghilangkan ketidakpedulian terhadap rasa takut dengan membentuk pilar lain yaitu kejujuran, disiplin, dan kreativitas.


KEKUATAN KESEIMBANGAN

Untuk memancarkan Ki yang baik tentunya seorang praktisi beladiri harus menyeimbangkan antara kejujran, disiplin, kreativitas, dan menguaasai rasa takut secara seimbang dan selaras.


ORANG-ORANG YANG BERHASIL MENCAPAI KI TERTINGGI

Morihei Ueshiba, tokoh Aikido, bekerja keras dan lama sekali untuk menyempurnakan Ki-nya. Di akhir usia tujuhpuluhan, ia sering mendemonstrasikan kebolehannya dengan melawan lima atau enam lawan sekaligus dan selalu dapat mengalahkan lawannya.

Beliau menjelaskan, "Tidak peduli bagaimana cepatya lawan menyerang atau betapa lambatnya saya bertindak, saya tidak bisa dikalahkan, ini bukan berarti teknik saya lebih cepat….. ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecepatan, saya menang dari awalnya. Begitu pikiran menyerang melintasi pikiran lawan saya, ia sudah kalah tidak peduli bagaimanapun cepatnya menyerang. Saya melihat dengan jelas bahwa gerakan dalam seni beladiri berkobar-kobar bila pusat Ki dikonsentrasikan dalam pikiran dan raga seseorang. Semakin tenang, semakin jelas pikiran saya jadinya. Saya bisa melihat pikiran-pikiran dengan intuitif, termasuk maksud-maksud kekerasan dari orang lain".

Demikian pula dengan tokoh-tokoh karateka legendaris, seperti Yasutsune Anko Itosu yang pada usia 75 tahun masih melakukan pertarungan dan selalu dimenangkannya dan beliau dengan kreativitasnya berhasil menciptakan banyak KATA.

Semua contoh di atas diperoleh dari hasil kejujuran, disiplin, kreativitas dan menguasai diri dari rasa takut. Mereka berhasil mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan keinginannya.


Dapat diambil hikmahnya dari tokoh-tokoh yang mempunayi Ki yang lebih baik adalah mereka tidak pernah menggunakan waktunya menciptakan tingkah yang macam-macam untuk membuat kesan pada orang lain, tapi mengkonsentrasikan pada pembentukan diri sendiri menjadi apa yang ia inginkan.

Tentunya kita bisa belajar pada mereka dengan memfokuskan Ki sebagai sistem nilai kita dengan menyusunnya satu demi satu yaitu apa yang kita peroleh dari pendidikan, penglaman, agama, etika, dan persepsi kita tentang siapa kita dan mau jadi apa kita! Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi bahan kajuan dan bermanfaat. (IGA)

Sumber:
penulis: Kushadiyanto, S. Psi. (Duel online @ http://duel.melsa.net.id/05psiko.html) dengan sedikit editing dari admin
READ MORE - Inner Power (1)

Senin, Oktober 20, 2008

Buka Wawasan Seni Beladiri


SEBAGIAN besar metode belajar dan mengajar seni beladiri di tanah air adalah latihan fisik. Ya, nyaris 90 persen yang diajarkan di tempat latihan adalah bagaimana cara memukul, menendang, membanting, mengunci, bergumul, menggunakan senjata dan mempraktikkan jurus-jurus.

Sementara penyampaian tentang ilmu pengetahuan baik meliputi sejarah, filosofi dan wawasan seni beladiri hanya 10 persen. Bahkan mungkin ada yang 100 persen hanya latihan fisik tanpa menyisakan porsi ilmu pengetahuan.

Semestinya, ilmu pengetahuan tentang seni beladiri jangan dikesampingkan. Penyampaian secara lisan atau tulisan dari pelatih itu penting, agar murid-murid tak hanya tahu teknik membeladiri tapi juga memahami tentang seni beladiri yang mereka pelajari. Bagus lagi mengetahui apa dan bagaimana seni beladiri yang lain.

Akibat kurangnya porsi penyampaian ilmu pengetahuan, banyak murid-murid di tempat latihan yang tidak tahu sejarah seni beladiri yang selama ini mereka pelajari. Tidak tahu dan tidak memahami filosofi yang sebenarnya banyak mengandung nilai moral. Begitupula berwawasan seadanya.

Satu fenomena yang pernah terjadi ketika seorang murid seni beladiri Taekwondo dari sebuah dojang mempertontonkan sekeping VCD tentang Taekwondo kepada temannya yang juga murid sebuah disiplin beladiri.

Saat menyimak tayangan VCD, sang teman bertanya kenapa seragam yang digunakan peraga di video itu berbeda dengan seragam Taekwondo umumnya di Indonesia. Di video mengenakan dobok (seragam Taekwondo) berstrip hitam pada kedua lengan baju dan sisi luar celana panjang, sementara biasanya di Indonesia yang sering dilihat adalah dobok tanpa strip kecuali bagian leher berbentuk V berwarna hitam (khusus sabuk hitam).

Dengan yakin si murid Taekwondo menjawab, dobok di Korea memang seperti itu. Beda dengan di Indonesia.

Lho?

Padahal yang benar adalah VCD yang diputar itu tentang Taekwondo dari organisasi ITF (International Taekwondo Federation), sementara di Indonesia Taekwondo yang berkembang adalah dari organisasi WTF (World Taekwondo Federation). Sehingga berbeda baik dari segi seragam maupun tekniknya.

Adapula kejadian seorang murid Karate Shotokan yang ironisnya tidak tahu dengan Gichin Funakoshi. Ia hanya tahu Funakoshi itu adalah nama salah satu perguruan Karate yang tergabung dalam FORKI.

Uniknya lagi, ada satu kumpulan karateka dari sebuah perguruan yang tekniknya berbeda-beda. Mestinya mereka seragam dalam mempraktikkan teknik, nyatanya masing-masing tidak sama, sehingga kadang terjadi diskusi bahkan perdebatan kecil. Padahal biasanya beberapa perguruan Karate punya afiliasi (atau bolehlah dibilang kiblat) organisasi atau perguruan di luar negeri, misalnya di Jepang, sehingga soal teknik mengadopsi dari afiliatornya.

Selain soal perbedaan teknik dalam satu perguruan, juga terjadi salah kaprah dalam penyebutan kata atau istilah dalam bahasa Jepang.

Itu hanya ketidaktahuan pada seni beladiri yang mereka pelajari. Belum lagi tentang seni beladiri yang lain dan segala perkembangan dalam dunia seni beladiri.

Di mana salahnya?

Kesalahan itu ada pada diri kita masing-masing yang tidak mau belajar.

Banyak buku maupun VCD/DVD tentang seni beladiri yang dijual di pasaran, tapi kita malas membeli apalagi membaca. Demikian pula media internet tidak dimanfaatkan untuk mempelajari seni beladiri, padahal segala yang ingin kita ketahui mudah dicari, baik informasi berupa tulisan (buku, majalah on line), foto maupun visual (klip video).

Nah, kurang apa lagi?

Tinggal bagaimana minat kita untuk menggali sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan tentang seni beladiri.

written by harry
READ MORE - Buka Wawasan Seni Beladiri

Pelatih Profesional dan Sosial



ANDA pelatih seni beladiri? Oke, selama ini apa yang Anda dapatkan dari hasil melatih seni beladiri? Kepuasan batin atau uang?

Mungkin jika dilakukan polling (khususnya di Indonesia), menurut perkiraaan saya akan muncul tiga jawaban; 1) melatih memberi kepuasan batin, 2) melatih mendatangkan uang, 3) melatih memberikan kepuasan batin sekaligus mendatangkan uang.

Memilih jawaban pertama mungkin karena responden atau pelatih seni beladiri tersebut memang berjiwa sosial. Ia tidak memikirkan materi dalam memberikan ilmu. Terpenting adalah ilmu yang diberikan dapat bermanfaat bagi orang lain.

Bisa pula pelatih tersebut secara materi tidak kekurangan atau sudah mapan, sehingga melatih hanya penyaluran hobi sekaligus menjaga kebugaran dan mempertahankan penguasaan teknik.

Memilih jawaban kedua, ada beberapa kemungkinan alasan. Bisa karena berpandangan bahwa yang diajarkan adalah ilmu dan ilmu tersebut layak untuk dihargai secara materi. Toh, wajar jika kemudian ia dibayar karena untuk mendapatkan ilmu tersebut sebelumnya ia juga harus mengeluarkan uang dan menyediakan waktu.

Alasan lain, secara materi pelatih tersebut masih kekurangan, sehingga perlu tambahan penghasilan dari melatih seni beladiri.

Memilih jawaban ketiga, karena beralasan hobi bisa mendatangkan uang. Seperti halnya pelukis yang dari hobinya itu kemudian dapat memberikan rezeki, demikian pula hobi menyanyi, bermain musik dan lain sebagainya, bisa berkorelasi dengan uang.

Dari ketiga jawaban di atas, mungkin ada yang sesuai dengan jawaban kita.

Garis besarnya, ada pelatih yang tidak mementingkan uang dan ada yang mementingkan uang. Boleh diistilahkan ada pelatih berprinsip sosial ada pelatih berprinsip profesionalisme.

Antara keduanya sah-sah saja. Tergantung pribadi pelatih masing-masing.

Olahraga seperti halnya seni beladiri sebenarnya tidak haram untuk dijadikan lahan mencari rezeki. Adalah hal yang wajar jika pelatih menetapkan bayaran atas jerih payahnya dengan catatan tidak terlalu materialistis.

Profesionalisme memang diperlukan, karena selama ini di Indonesia hanya sedikit cabang olahraga yang bisa menopang kehidupan para atlet maupun pelatih. Olahraga yang menjajikan materi, misalnya sepak bola, tenis lapangan dan tinju. Sedangkan seni beladiri macam pencak silat, karate, judo, jujutsu dan sebagainya hanya mendatangkan uang besar saat berprestasi di atas matras atau mungkin bernasib baik menjadi aktor film laga. Itupun temporer. Sementara di tempat latihan tak bisa berbicara banyak untuk menjamin kehidupan.

Di negara maju, contohnya Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, berbeda dengan di Indonesia. Para praktisi beladiri yang sudah berstatus pelatih, tidak ragu menjadikan hobinya sebagai profesi. Tempat latihan adalah tempat mencari uang.

Tempat latihan biasanya berupa ruangan, bukan lapangan atau areal terbuka. Dikelola dengan manajemen yang rapi, seperti halnya tempat kursus atau lembaga pendidikan non formal. Mereka mendapatkan uang dari siswa yang belajar, bahkan ada staf khusus yang menangani pendaftaran, pengaturan jadwal latihan dan masalah finansial sehingga kelangsungan tempat latihan dan kesejahteraan pemilik serta pelatih di situ terjamin.

Aktivitas harian para pelatih adalah full time melatih. Hanya sedikit yang bekerja paruh waktu. Jadi profesionalisme benar-benar dijalankan, karena melatih adalah pekerjaan.

Sistem latihan ada yang regular adapula yang paket. Bagi yang ingin privat pun dilayani. Tentunya ada perbedaan biaya dari pembagian sistem latihan ini. Di sinilah harga dari sebuah ilmu dinilai.

Dengan manajemen yang tertata, tempat latihan pun bahkan bisa beriklan di media massa seperti halnya perusahaan mempromosikan produknya. Media digunakan tak hanya cetak dan elektronik, juga media internet.

Sebagai diversifikasi usaha, banyak pula pelatih yang menulis buku dan membuat video beladiri (VC/DVD). Pasarnya tak hanya para murid tapi juga khalayak umum.

Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa sebenarnya sudah mulai bermunculan praktisi beladiri yang berani memprofesionalkan diri, meski tak banyak yang full time. Membuka tempat latihan representatif lengkap dengan peralatan dan menerapkan manajemen.

Bagi praktisi seni beladiri di daerah, bisa meniru hal itu. Dengan prinsip ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) profesionalisme bisa mulai dijalankan. Jika selama ini lebih banyak berharap dari melatih privat, sekarang dapat lebih meningkatkan penghasilan dengan mengelola tempat latihan secara profesional.

Tak perlu banyak memberikan janji, misalnya tempat latihan tersebut dapat mencetak atlet berprestasi, karena ujungnya hanya menimbulkan beban bagi pelatih. Selain itu motivasi murid tak semuanya ingin jadi atlet. Utamanya, mereka ingin memiliki bekal pertahanan diri sekaligus berolahraga.

Terpenting dalam mengelola tempat latihan adalah menjaga hubungan emosional yang baik antara pelatih dan murid. Tentunya kalau mereka merasa nyaman berlatih, kontinuitas latihan tidak terputus dan tidak ada murid yang berhenti setelah satu atau dua bulan berlatih.
READ MORE - Pelatih Profesional dan Sosial

Ditebas dengan Samurai!



Indonesia kaya seni dan budaya. Salah satu bentuk kekayaan seni dan budaya itu berupa beranekaragamnya senjata khas tradisional. Masing-masing daerah atau provinsi memiliki senjata khas tradisional warisan para leluhur yang hingga kini tetap lestari.

Orang Jawa punya keris. Orang Madura punya clurit, orang Sulawesi punya badik, Orang Sumatera punya rencong orang Kalimantan punya mandau, serta senjata khas tradisional lainnya yang dimiliki masing-masing daerah.

Seperti halnya Indonesia, bangsa lain pun punya senjata khas tradisional yang sangat beragam. Jika disebutkan satu per satu nama negara berikut senjata khas tradisionalnya, tentunya sangat panjang. Ambil satu contoh saja, negara Jepang. Negeri matahari terbit ini punya salah satu senjata khas tradisional yang sangat dikenal di seantero jagat, yaitu pedang.

Pedang Jepang berbentuk agak melengkung yang umumnya berukuran panjang antara 1-1,5 meter ini memiliki satu sisi tajam. Tangkai pegangan cukup leluasa untuk digenggam baik dengan satu tangan atau dua tangan. Pada praktiknya, penggunaan pedang ini lebih dominan ditebaskan dibanding ditusukkan.

Masyarakat Indonesia sangat mengenal senjata tajam yang satu ini. Sebagai negeri yang pernah dijajah bangsa Jepang, orangtua atau kakek-nenek kita pasti sering melihat pedang ini bergantung di pinggang para kenpetai alias serdadu Jepang.

Samurai, demikian umumnya masyarakat Indonesia menyebut pedang Jepang ini.

Bagi orang Jepang yang mendengar penamaan pedang ini di Indonesia dengan sebutan samurai, mungkin akan bingung, heran atau tersenyum simpul.

Soalnya bagi orang Jepang sebutan samurai adalah ditujukan bagi para ksatria tempo dulu. Mereka adalah ahli beladiri yang selalu membawa dua bilah pedang; satu panjang dan satu pendek.

Sementara pedang panjang yang digunakan para samurai itu dinamakan katana. Jadi sungguh mengundang senyum jika kemudian malah pedang tersebut dinamakan samurai.

Memang salah kaprah. Uniknya, banyak orang Indonesia yang paham bahasa Jepang tetapi tidak membetulkan kekeliruan tersebut. Akhirnya tak heran jika kemudian media massa pun tertular salah dengan menulis kata samurai jika menyebutkan nama pedang Jepang ini.

Jika penyebutannya adalah pedang samurai, dengan pengertian pedangnya para samurai, tentunya masih tepat, tetapi jika misalnya kita berujar; “ditebas dengan samurai!” tentulah kesalahan kata yang menggelikan. Berarti ditebas dengan manusia…
READ MORE - Ditebas dengan Samurai!
Web Hosting


IndoBanner Exchanges