Persahabatan Karate dan Judo
Masih banyak orang, baik orang awam maupun praktisi seni beladiri, yang suka membanding-bandingkan antara satu seni beladiri dengan seni beladiri yang lain.
Ada yang menganggap seni beladiri A lebih hebat daripada seni beladiri B. Kemudian seni beladiri C lebih jago dari seni beladiri D.
Kadang untuk membuktikan kehebatan seni beladiri yang ia kuasai, dilancarkanlah tantangan kepada praktis seni beladiri yang lain. Begitukah makna kita belajar seni beladiri?
Memang di atas langit ada langit. Tapi bukan berarti harus melemahkan satu sama lain, karena setiap seni beladiri memiliki kelebihan masing-masing.
Satu musuh, terasa kebanyakan. Seribu teman, terasa kekurangan.
Seni beladiri tidak membentuk orang menjadi jagoan. Sebaliknya, seni beladiri membentuk orang memiliki kepribadian yang luhur.
Makna seni beladiri ini setidaknya bisa kita lihat dari sosok Gichin Funakoshi, Guru Besar Karate Shotokan dan Jigoro Kano, pendiri Judo.
Gichin Funakoshi dan karate-nya berasal dari Okinawa. Sedangkan Jigoro Kano dan Judo-nya lahir di Jepang. Lantas, apakah keduanya bertarung untuk merebut simpati masyarakat Jepang sekaligus membuktikan kehebatan seni beladiri masing-masing?
Sebaliknya, kedua ahli seni beladiri tersebut saling menghargai dan menghormati, bahkan menjadi sahabat karib.
Catatan sejarah menyatakan, Jigoro Kano malah banyak membantu kelancaran Gichin Funakoshi dalam pengembangan karate di Jepang. Apakah setelah dojo karate bermunculan kemudian dojo Judo kehilangan murid? Kenyataannya, kedua seni beladiri ini sama-sama berkembang pesat bahkan sama-sama menyebar hingga keluar Jepang.
Saling mengunjungi dojo menjadi aktivitas di sela waktu mereka mengembangkan seni beladiri masing-masing. Keduanya pun mau menyadari kelebihan dan kekurangan dari segi teknik beladiri, sehingga terjadi pertukaran teknik dengan saling mengadopsi teknik satu sama lain.
Beberapa teknik bantingan dan sapuan kaki yang ada di karate adalah inovasi Gichin Funakoshi setelah mempelajari teknik tersebut dari judo. Demikian pula Jigoro Kano, memperkaya teknik judo dengan atemi berupa pukulan dan tendangan yang diambil dari teknik karate.
Selain teknik beladiri, Gichin Funakoshi juga mengadopsi seragam judo yang kemudian dimodifikasi menjadi seragam karate. Ya, karena memang di Okinawa awalnya tak ada pakaian khusus untuk berlatih seni beladiri apapun.
Pakaian untuk berlatih berwarna putih tersebut kemudian dinamakan Karate-gi atau Do-gi atau Keiko-gi, terdiri atas baju (uwagi) dan celana panjang longgar (zubon). Dilengkapi sabuk (obi) tebal berbahan kain yang dijahit kuat berlapis.
Tak hanya pakaian latihan, sistem tingkatan dalam judo yang ditandai dengan warna sabuk, diadopsi pula dalam karate.
Tak salah, jika memang memberikan manfaat untuk kemajuan, ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) adalah hal yang wajar.
Karena dilandasi persahabatan, tak ada egoisme dan fanatisme di antara Gichin Funakoshi dan Jigoro Kano.
Nah, dua guru besar seni beladiri saja mau berjabat tangan. Sekarang bagaimana dengan kita?
written by harry
Ada yang menganggap seni beladiri A lebih hebat daripada seni beladiri B. Kemudian seni beladiri C lebih jago dari seni beladiri D.
Kadang untuk membuktikan kehebatan seni beladiri yang ia kuasai, dilancarkanlah tantangan kepada praktis seni beladiri yang lain. Begitukah makna kita belajar seni beladiri?
Memang di atas langit ada langit. Tapi bukan berarti harus melemahkan satu sama lain, karena setiap seni beladiri memiliki kelebihan masing-masing.
Satu musuh, terasa kebanyakan. Seribu teman, terasa kekurangan.
Seni beladiri tidak membentuk orang menjadi jagoan. Sebaliknya, seni beladiri membentuk orang memiliki kepribadian yang luhur.
Makna seni beladiri ini setidaknya bisa kita lihat dari sosok Gichin Funakoshi, Guru Besar Karate Shotokan dan Jigoro Kano, pendiri Judo.
Gichin Funakoshi dan karate-nya berasal dari Okinawa. Sedangkan Jigoro Kano dan Judo-nya lahir di Jepang. Lantas, apakah keduanya bertarung untuk merebut simpati masyarakat Jepang sekaligus membuktikan kehebatan seni beladiri masing-masing?
Sebaliknya, kedua ahli seni beladiri tersebut saling menghargai dan menghormati, bahkan menjadi sahabat karib.
Catatan sejarah menyatakan, Jigoro Kano malah banyak membantu kelancaran Gichin Funakoshi dalam pengembangan karate di Jepang. Apakah setelah dojo karate bermunculan kemudian dojo Judo kehilangan murid? Kenyataannya, kedua seni beladiri ini sama-sama berkembang pesat bahkan sama-sama menyebar hingga keluar Jepang.
Saling mengunjungi dojo menjadi aktivitas di sela waktu mereka mengembangkan seni beladiri masing-masing. Keduanya pun mau menyadari kelebihan dan kekurangan dari segi teknik beladiri, sehingga terjadi pertukaran teknik dengan saling mengadopsi teknik satu sama lain.
Beberapa teknik bantingan dan sapuan kaki yang ada di karate adalah inovasi Gichin Funakoshi setelah mempelajari teknik tersebut dari judo. Demikian pula Jigoro Kano, memperkaya teknik judo dengan atemi berupa pukulan dan tendangan yang diambil dari teknik karate.
Selain teknik beladiri, Gichin Funakoshi juga mengadopsi seragam judo yang kemudian dimodifikasi menjadi seragam karate. Ya, karena memang di Okinawa awalnya tak ada pakaian khusus untuk berlatih seni beladiri apapun.
Pakaian untuk berlatih berwarna putih tersebut kemudian dinamakan Karate-gi atau Do-gi atau Keiko-gi, terdiri atas baju (uwagi) dan celana panjang longgar (zubon). Dilengkapi sabuk (obi) tebal berbahan kain yang dijahit kuat berlapis.
Tak hanya pakaian latihan, sistem tingkatan dalam judo yang ditandai dengan warna sabuk, diadopsi pula dalam karate.
Tak salah, jika memang memberikan manfaat untuk kemajuan, ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) adalah hal yang wajar.
Karena dilandasi persahabatan, tak ada egoisme dan fanatisme di antara Gichin Funakoshi dan Jigoro Kano.
Nah, dua guru besar seni beladiri saja mau berjabat tangan. Sekarang bagaimana dengan kita?
written by harry
0 komentar:
Posting Komentar