Selasa, Oktober 28, 2008

Osu atau Osh?

Satu ucapan yang sama namun berbeda penulisan. Itulah Osu dan Osh.

Mana yang benar? Bagi sebagian praktisi beladiri Jepang terutama Karate tentunya hal ini membingungkan. Meski diucapkan dengan bunyi yang sama, “Os,” namun kata ini dalam bentuk tulisan berbeda hurup akhir. Antara U dan H.

Mungkin tidak masalah jika yang menulis dan membaca tulisan kata itu adalah sama-sama orang Indonesia. Mahfum, kalau ada sedikit kesalahan, karena memang bukan bahasa sendiri. Namun akan jadi soal, jika yang membaca penulisan itu adalah orang Jepang, si pemilik bahasa.

Menurut beberapa praktisi seni beladiri Jepang di tanah air yang notabene memiliki wawasan budaya dan bahasa Jepang, penulisan yang benar adalah Osu.

Sebagaimana dijelaskan Senpai Bachtiar Effendi, owner Fokushotokan.com, indoshotokan.blogspot.com dan mediakarate.blogspot.com, perbedaan penulisan itu dilatarbelakangi pelafalan kata oleh orang Jepang.

“Osu!” Diucapkan dengan intonasi yang agak cepat, sehingga hurup U di akhir kata nyaris tak terdengar. Sehingga bagi telinga kita, terdengar seperti bunyi “Oss” atau “Osh.”

Istilah Osu tidak hanya berlaku dalam karate. Bahkan sebagian klub olah raga di Jepang (tidak hanya karate) menggunakannya. "Osu" secara harfiah berarti iya, baik (tanggapan atas suatu perintah).

Jika diteruskan kira-kira, "iya/baik saya kerjakan". Namun karena karate memang bela diri yang berfilosofis, Osu berkembang menjadi makna yang lebih dalam yaitu kesiapan atau ketahanan mental sorang praktisi karate menghadapi ujian yang berat baik saat latihan atau dalam hidup kesehariannya.

Osu juga berarti rasa terima kasih. Yang lebih penting hormat seorang juhior pada senior (sangat terlihat di Jepang).

Sensei Robert Mustard, sebagaimana dikutip dari aikidoshudokanindonesia.com, menjelaskan, di Jepang, orang-orang yang menggunakan kata “Osu!” adalah olahragawan-olahragawan di SMA dan universitas, serta mereka yang belajar karate.

Di perusahaan–perusahaan, Anda juga akan mendengar kata ini, tapi mereka menggunakannya karena untuk mengatakan “Ohayo gozaimasu” (selamat pagi) dan mereka menyingkatnya menjadi kata Osu!

Selain Karate, seni beladiri Aikido aliran Yoshinkan juga menggunakan kata ini sebagai ucapan salam, tanda menghormati dan sapaan.

Kata “Osu!” aslinya ditulis dalam karakter hurup Cina. Terdiri dua hurup, hurup pertama adalah “Osu!” yang arti dalam kamus adalah “mendorong”. Huruf kedua adalah “Nin” yang artinya adalah Shinobu, yaitu endure (tabah), persevere (bertahan), put up with (toleransi) .

Jika semuanya dijadikan satu, maka artinya menjadi: kita harus memacu diri kita untuk tetap tabah menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pelatihan, maupun dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dalam budo, “Osu!” juga digunakan untuk memberi salam atau jawaban yang berarti bahwa kita siap untuk mengikuti perintah dan petunjuk pelatih. harry
READ MORE - Osu atau Osh?

Pedang Samurai vs Pedang Ninja


Serupa tapi tak sama. Begitulah kedua senjata tajam khas tradisional Jepang ini. Senjata itu adalah pedang Samurai alias katana dan pedang Ninja alias Ninja To. Sekilas memang mirip, namun jika dicermati ada beberapa perbedaan secara fisik.

Perbedaan yang nyata adalah dari segi ukuran panjang. Katana lebih panjang dari Ninja To. Jika Katana umumnya berukuran panjang 70-90 cm, sedangkan Ninja To panjang 60 cm.

Dari segi bentuk, Katana lebih melengkung daripada Ninja To yang ujudnya cenderung lurus. Bahan besi kedua pedang tersebut juga memiliki warna berbeda. Katana putih mengkilat, sedangkan Ninja To warnanya kehitaman (sesuai warna Ninja) tidak mengkilat namun sama-sama tajam dengan Katana.

Di bagian gagang atau pegangan, pelindung tangan dari tebasan lawan yang dinamakan tsuba, juga berbeda. Tsuba pada Katana umumnya berbentuk bulat sementara Ninja To menggunakan tsuba berbentuk kotak.

Meski berbeda tetapi berasal dari ujud yang sama.

Ihwal sejarah Ninja To ternyata berasal dari Katana. Pedang para Ninja itu merupakan modifikasi dari Katana. Bahan pedang dipungut dari sisa perang kaum Samurai. Kemudian dipotong lebih pendek dan disesuaikan dengan keperluan para Ninja agar mudah dibawa.

Menurut San Moon, praktisi seni beladiri Ninjutsu di tanah air, bentuk Ninja To merupakan adopsi dari pedang China (pedang Tai Chi). Pedang China itu lurus kecuali golok. Pedang ninjutsu juga lurus karena gabungan ilmu Tiong Kok dan Ilmu Jepang.

Satu lagi beda kedua pedang ini. Para Samurai membawa dua pedang berselip di pinggang, satu katana dan satu lagi berukuran lebih pendek. Sementara para Shinobi alias Ninja hanya membawa satu pedang dengan penempatan diikat di punggung. harry
READ MORE - Pedang Samurai vs Pedang Ninja

Rabu, Oktober 22, 2008

MMA Bruce Lee style


Have you heard about mixed martial arts Bruce Lee style?

Well here's the story:

In the days before Bruce Lee an event such as the ultimate fighting championship would have been taboo. Back then karate black belt's would only fight other karate black belts -- kung fu practitioners would only fight other kung fu practitioners and so on. It was unheard of -- and considered almost blasphemy for individuals to train in multiple styles.

So when Bruce Lee introduced Jeet Kune Do as an amalgamation of several disciplines... it was really the birth of today's mixed martial arts.

Bruce Lee then is unquestionably the father of today's modern mixed martial arts -- so says Dana White, president of the UFC. In today's modern fighting arena if you have only studied one martial art you are a huge disadvantage. UFC fighters must study and practice more than one style of martial arts to be successful. This has been proven over and over again in the octagon.

So how would a Bruce Lee fared in the ultimate fighting championship? Many UFC fighters and veterans alike agree that he would've done well. Lee's daughter Shannon was quoted as saying "I think he would've kicked butt!"

And I agree with that. Jeet Kune do is based on 4 different ranges.

* Kicking range
* Punching range
* Clinching range
* Grappling range

To be successful in mixed martial arts/ultimate fighting you must study various martial arts disciplines.

The most popular ones are:

Muay Thai or kickboxing for the kicking range. Western-Style boxing for the punching range, called dirty boxing or Greco-Roman wrestling for the clinching range and Brazilian jujitsu and Sambo for the grappling range.

source: ezinearticles.com
READ MORE - MMA Bruce Lee style

Traditionalism Vs Modernism


The original founders of the arts we call "traditional" may very well have refrained from calling their creations "traditional" because their arts were in the process of developing at the time. We do not talk about traditional football or baseball players because no one practices a form of these sports using older rules, uniforms, or other conventions as separate from contemporary football or baseball. We call "traditional" those who keep alive arts not in current use. A bow and arrow expert might be considered a traditional warrior if he used his weapon in circumstances where others would use M-16's or AK-47's. He would be a traditionalist because in contemporary times, bows and arrows are not used, nor even practiced for use in war. In this sense, all Asian martial arts are traditionalistic.

In self-defense, traditionalism means little. We do what is necessary in self-defense, not what is our art. We do not make sure our wrist reversal looks like the version taught in aikido or Hwarang-do or ju-jutsu or Shorinji Kempo, nor do we make sure we apply a wrist reversal instead of a punch (just because we studied a grappling art) if the punch would be more appropriate. In self-defense, we use whatever we know, whether or not it is recognizable as an art, let alone a traditional art. In self-defense, we are all contemporary eclecticists.

What passes either as traditionalism or modernism is the method of training. All methods of training are shaped by the goals an adherent wishes to achieve. A tournamenteer who trains for open tournament may be referred to as a Modernist, while a Traditionalist, it is said, trains for closed tournaments, but both are using arts in a way which preserve at least a vestige of combat (and are thus Traditionalists), while neither is preserving the art as combat (thus both are Modernists.) Both are developing their arts, but in their own milieu and at their own pace. Practitioners develop their art to improve and achieve within their own goal-structures. The labels which they adhere to themselves do not label their arts but their attitudes.

Traditionalists are in the unfortunate position of having labeled as a "traditional" art that which is no longer in use for actual combat. Those traditionalists who wish to popularize the martial arts, by expanding the influence of their style or the attendance of tournaments, etc., seem to belie their own term for themselves because they wish to popularize the practice of those arts which are no longer used in combat but which can be practiced for many other reasons. Thus, they wish to put into use for other goals that which is no longer used for the original goal. Traditionalists who wish to popularize also wish to become Modernists in that they desire a new use for old practices. Of course, there are those traditionalists who do not wish to apply their arts to modern needs at all but to preserve them for the sake of historical accuracy. These are not really traditionalists in my view but classicists, or perhaps preservationists.

Traditionalism implies an inheritance. Ironically, even modernists have some sort of inheritance; no one has created his own style who has not drawn at least somewhat from existing styles. A modernist would just as soon ignore or at least find fault with his inheritance. A traditionalist recognizes and honors his inheritance and sometimes is limited by it. But the term "traditionalist" should not always imply that a practitioner cannot adapt or change. The act of honoring one's inheritance means that one checks back on what one already has before venturing into the new. Both Funakoshi (founder of Shotokan) and his teacher Itosu (leading instructor of Shorin after Matsumura) changed their arts, but they did not do this haphazardly, rather they employed a great deal of study and tried to improve their art within their tradition. In this respect, one might call even Bruce Lee a traditionalist.

Lee started with the traditional Wing Chun, at first modifying it only slightly to be able to deal with longer-limbed and stronger Americans. From there he went on to develop the more or less modernist Jeet Kune Do, but he always honored his tradition. He had the utmost respect for both his instructor Man Yip, and his senior William Cheung. To this degree he can be considered a traditionalist. To the extent that he wrote about traditional training as bunk, he of course is not honoring tradition. But note that the arts he referred to as the "classical mess" were not his own arts. Not having grown up in these traditions, it was easy for him to poo-poo them, much as people in the Japanese arts which I grew up in poo-pooed Chinese martial arts, much as some people in Korean circles belittle Japanese arts or people in Chinese circles laugh at the simplicity of Korean styles. If one does not understand a system nor develop within it, one can easily find fault with it. This Bruce Lee did and because of it we consider him a rebel and a non-traditional Modernist.

In my opinion, had Bruce Lee withheld his judgment until a later date, he would have recognized that some of those techniques which seemed useless in combat are often simply misunderstood because exposure to in-depth instruction is lacking. Lee should be credited with criticizing martial artists' wholesale belief that externally perceived applications would work literally as taught, and with criticizing the slowness with which Asian instruction revealed what really did work, but one should not assume that the validity of these criticisms implies that all aspects of traditionalism are nonfunctional or purposeless.

Lee's articles, and later his JKD, set a precedent for the development of modernist martial arts. Traditional martial arts were becoming more eclectic due to tournament competition but Lee blew them wide open with his articles in the 1960's. He then advocated a style which was not a style and an art which was not an art. That is fine for the brave advanced practitioner who is interested in the essence of the martial arts as combat arts and enters into that essence without a blueprint. But, Bruce Lee was an experienced martial artist who taught, by and large, experienced martial artists. He had fundamentals to draw on and so did his students. Nowadays people with little experience immediately want to jump into their own eclectic art because they want to be "free". They are simply jumping into a less experienced format, using a blueprint which has not yet built buildings, one which is, in fact, being adjusted as it is printed.

Even eclectic modernist arts have to have a form in order to be communicated. Bruce Lee's "classical messes" were probably over-stringent in insisting that a certain form not be varied and that variance from that certain form should equal stylistic excommunication or damnation to the hell of supposed ineffectiveness. I contend that traditional martial arts produced tested blueprints from which we may expand, grow, and adjust. I am a traditionalist, for instance, because I find the traditional blueprint to have unexpected depth and detail. Movements that I have been repeating for two decades hold new things for me each year. This does not mean, however, that I shut off innovations from the outside. But I contend that innovations, whether from outside a style or from within, innovate from some tradition. Styles do not form from thin air. The question is how extremely do new innovations vary from the tradition of origin? Did not baseball arise as an innovation from cricket? Was not American football an innovation from rugby? Do we not get checkers from chess, automobiles from carriages, calculators from abaci, aerobics from calisthenics, and traditional budo itself from ancient battlefield bugei?

All innovations come from some tradition which has to be developing at some rate. During the slow developmental periods, perhaps the innovations within the art of origin went off on a tangent so that, to contemporary ways of thinking, there was no real improvement. Then some single innovation or group of innovations opened the door to a new, more rapid period of development in which more innovations flowed. Bruce Lee is responsible, I think, for accelerating innovation in the martial arts and should be applauded for it, however, one should not assume that the martial arts were not developing and changing anyway, albeit at a slower rate.

The traditionalist should respect the innovator to the extent that he/she is contributing to the martial arts. The modernist should respect those who wish to study more slowly and in more depth that which is already established. Personally, I respect both. I consider myself an "innovative traditionalist" because I do not believe in staying solely with one's "inheritance", I believe in building on it. Most traditionalists, by in large, look to the hallowed figures of the past. These are the great men of whom we are the feeble descendants. Modernists, conversely, believe that those were the feeble men of whom we are the great descendants. I respect both traditionalist and modernist but concur with neither extreme. Rather, I choose to look toward the future by standing on the shoulders of giants.

Source: Tony Annesi @ezinearticles.com

READ MORE - Traditionalism Vs Modernism

Selasa, Oktober 21, 2008

The Simple Lesson of Water


The students were called together in the main hall. "Today you will learn a simple yet profound lesson," the master said. "It is an easy one that even a small child can do. I want you to find a partner. Now, each pair must choose a blindfold. One of you will wear it, and the other one will lead him or her." One student in each pair then put on a blindfold.
"I have designed a course for you leaders to take your blindfolded partners through," the master continued. "Can you see the different markers that have just been placed around the room?" The leaders looked at the marked course.
"The game is very simple," the master said. 'Guided by your leader, you will feel whatever your leader guides you to. Don't worry-we have no harmful things for you to touch. Everything is safe. Well, there might be a scary thing or two!"
Some of the students shivered at the thought of what they might have to touch, but they agreed to be led around the hall. The blindfolded students touched whatever their leader asked them to touch. Occasionally a scream would break the silence when one of the students touched an object that was scary or unexpected. This made the lesson even more fun.
"Now, those of you who just went through the course blindfolded will go through again without the blindfold," the master said. "This time, feel the objects and look at them."
The students did as they were told, and at the end of the course they once again came to the bowl of water. Each student put a hand into the water, but no one jumped this time.
"How did you feel when you first touched the water with your blindfold on?" the master asked . The students said they were startled by the water and jumped when they touched it.
"Was the water so cold or hot that it made you jump?" the master asked.
"No," a student said. "It was just a surprise. We didn't know it was water."
"And the second time around-without the blindfold-did you jump when you touched the water?" the master asked.
"No," the student said.
"Why not?" the master asked.
"Because I recognized that it was only water," the student said. "I saw it before I felt it, so it didn't surprise me. The first time I couldn't see it, so I didn't know what it was. The second time I couldn't see it, so I didn't know what it was. The second time I could see what it was, and I knew what to expect."
"What can you learn from this lesson that is very simple yet great importance, not only to your life but to world peace?" the teacher asked.
The students were puzzled. What connection could there be between touching water and world peace?
"I don't understand what you mean," the student said. "The only difference between the two instances is that the first time we had no knowledge of the water and did not expect it, so we were surprised. It was like touching something for the first time, like when I was very young and played at the edge of the ocean. It was a new experience. The second time we all knew that the bowl contained water. Therefore, we were not surprised."
"So, you had no knowledge or expectation at first, and therefore you experienced water as if it were new to you," the master said. "That was a very different feeling from the second time when you knew it was water and the experience was just ordinary. Can you see the different state of mind in these two experiences?"
The master continued: "Now think about this lesson and hot it applies to you daily life. How often are things new or extraordinary to you, like when you were a small child. And how much do we 'know' about life-in a way that makes things, people and places old, familiar, rather dead? Can you see the importance of approaching life freshly, without the burden of knowledge from the past?
"Now, let's take a very big leap and apply the experience you've just had to thinking about yourselves in a relationship," the master said. "If your mind hangs onto old memories, especially ones of hurt and fear, and carries those experiences over into new relationships, what happens? Your mind is not fresh or new. It is burdened with past memories and is disturbed. This carrying over a problem from the past creates problems now. If your mind is not peaceful, then the world is not peaceful, for your thoughts create your actions and your actions create the world. If the mind is old, dead, caught in the past, what does the real miracle of ordinary life become? Can we experience life like a small child and really feel the joy of looking afresh at each moment? This, dear students, is at the heart of the martial arts. To have a mind that is not filled with past hopes, fears, hurts, prejudices and hates is to have a mind that is free, peaceful and truly loving. Think deeply about this, for it is the greatest lesson!
"Our activity today was a simple example of how the min, by living in the past, takes the newness out of life. See how the mind does this in other ways, how it stores memories that become 'you' and 'me,';'us' and 'them'-each with our beliefs about life based on those memories. See how this creates conflict by separating us from the other.
"Observe you mind and watch how this occurs, how the brain stores these memories, especially of being hurt emotionally. From past recollections, 'I know that I have been hurt and know I have to protect myself.' And collectively, 'We have been hurt and know we must protect ourselves.' See the danger of this, how it creates war within and without! Oh, students, this may be difficult for you to comprehend, but it is very important. You are not expected to understand all of this now. What you are being asked to do is begin to observe your mind, the mind that is the mind of all people, and to see how certain memories cause conflict in a relationship.
"Just begin with simple observations, as with the bowl of water, and move from there. You will, in so doing, discover the root of human violence and conflict, for it is within ourselves. We create the world; we are the world. When our minds are filled with fear, hurt, anger and hate, we create that in the world. If we can 'empty' the mind of all this unnecessary knowledge, we will really be living the art of 'empty self.' Think deeply about this, for it is the greatest lesson!"
The students and the master bowed at the end of their class.

Source: Terence Webster-http://www.martialinfo.com/article
READ MORE - The Simple Lesson of Water

Inner Power (1)


Sebagai praktisi dari suatu seni beladiri tentunya Kita sering mendengar tentang Ki (dalam seni beladiri Jepang), Chi (dalam seni beladiri China), Prana (dalam seni beladiri India) atau dalam seni beladiri di Indonesia lebih dikenal dengan tenaga dalam. Dalam hal ini penulis menggunakan Ki sebagai hal yang dimaksud.

APA ITU KI?

Ki atau tenaga dalam dalam seni beladiri adalah gabungan pikiran, hati, dan semangat. Seorang praktisi seni beladiri yakin akan adanya kekuatan yang mengalir lewat alam dan hal itu bisa membuka jalan kekuatan ini menjadi selaras dengannya. Ki ini bisa dilatih untuk mencapai keselarasan oleh praktisi beladiri dengan melatih raga dan pikiran hanya memfokuskan pada apa yang sebetulnya penting saat itu. Seorang praktisi seni beladiri harus melatihnya hingga bisa melakukan ini diluar sadar atau ketegangan mental dan praktisi bila merasakan ketegangan mental berarti ada yang kurang dalam Ki.

Bila raga, hati, dan semangat dalam keselarasan ini sudah menyatu pada praktisi seni beladiri maka segala kehidupan yang dijalaninya relatif lebih dikuasai dan orang lain akan merasakan keyakinan yang kuat ini sebagai kehadirian, sebagai kekuatan yang tak terlihat.

KI DITINJAU DARI ILMU PSIKOLOGI

Dalam psikologi orang yang mampu menguasai dirinya dan mengembangkan kepribadian sesuai dengan keinginan dirinya sendiri dan lingkungan sosialnya disebut mencapai aktualisasi diri, yang dalam teori yang dikembangkan oleh Maslow merupakan hirarki tertinggi apa yang harus dicapai oleh manusia. Bila ditinjau dari pembahasan tentang Ki tadi maka aktualisasi diri merupakan Ki tertinggi yang bermanfaat bagi kehidupan.

Tentunya untuk mencapai Ki atau aktualisasi diri kita senantiasa harus mengasahnya dengan belajar dan melatihnya.

Terlepas pengertian Ki yang bersifat kekuatan supranatural, penulis di sini mencoba mengambil pendekatan yang agak filosofi dan ilmiah agar semua praktisi beladiri dapat melatih sehingga dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai hidup yang selaras dan mampu mencapai aktualisasi diri.

Untuk melatih Ki ini kita harus melatih keseimbangan kekuatan dengan melatih dan membentuk empat pilar.

Empat pilar itu adalah:

1. Kejujuran

2. Disiplin

3. Kreativitas

4. Menguasai diri dari rasa takut


KEJUJURAN

Kejujuran merupakan seluruh karakter moral yang harus dijalankan dengan ketulusan, berarti benar terhadap visi dan tujuan anda sendiri.



DISIPLIN

Disiplin adalah belajar dan latihan, orang yang sukses dalam bidang apapun apalagi dalam seni beladiri dan bisa menjadi yang terbaik atau terhebat selalu orang-orang yang membebankan dirinya sendiri dengan disiplin yang lebih keras dari apa saja yang dibebankan oleh orang lain.


KREATIVITAS

Kreativitas, orang selalu terkesan dengan kreativitas, bila kita melakukan sesuatu diluar kebiasaan, terutama sekali jika kita memperlihatkan bahwa kita peduli orang melihatnya. Kreativitas harus menjadi bagian dari kita untuk bertindak.


MENGUASAI DIRI DARI RASA TAKUT

Menguasai diri dari rasa takut, satu-satunya yang harus ditakutkan adalah rasa takut itu sendiri untuk menguasai diri dari rasa takut dengan menghilangkan ketidakpedulian terhadap rasa takut dengan membentuk pilar lain yaitu kejujuran, disiplin, dan kreativitas.


KEKUATAN KESEIMBANGAN

Untuk memancarkan Ki yang baik tentunya seorang praktisi beladiri harus menyeimbangkan antara kejujran, disiplin, kreativitas, dan menguaasai rasa takut secara seimbang dan selaras.


ORANG-ORANG YANG BERHASIL MENCAPAI KI TERTINGGI

Morihei Ueshiba, tokoh Aikido, bekerja keras dan lama sekali untuk menyempurnakan Ki-nya. Di akhir usia tujuhpuluhan, ia sering mendemonstrasikan kebolehannya dengan melawan lima atau enam lawan sekaligus dan selalu dapat mengalahkan lawannya.

Beliau menjelaskan, "Tidak peduli bagaimana cepatya lawan menyerang atau betapa lambatnya saya bertindak, saya tidak bisa dikalahkan, ini bukan berarti teknik saya lebih cepat….. ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecepatan, saya menang dari awalnya. Begitu pikiran menyerang melintasi pikiran lawan saya, ia sudah kalah tidak peduli bagaimanapun cepatnya menyerang. Saya melihat dengan jelas bahwa gerakan dalam seni beladiri berkobar-kobar bila pusat Ki dikonsentrasikan dalam pikiran dan raga seseorang. Semakin tenang, semakin jelas pikiran saya jadinya. Saya bisa melihat pikiran-pikiran dengan intuitif, termasuk maksud-maksud kekerasan dari orang lain".

Demikian pula dengan tokoh-tokoh karateka legendaris, seperti Yasutsune Anko Itosu yang pada usia 75 tahun masih melakukan pertarungan dan selalu dimenangkannya dan beliau dengan kreativitasnya berhasil menciptakan banyak KATA.

Semua contoh di atas diperoleh dari hasil kejujuran, disiplin, kreativitas dan menguasai diri dari rasa takut. Mereka berhasil mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan keinginannya.


Dapat diambil hikmahnya dari tokoh-tokoh yang mempunayi Ki yang lebih baik adalah mereka tidak pernah menggunakan waktunya menciptakan tingkah yang macam-macam untuk membuat kesan pada orang lain, tapi mengkonsentrasikan pada pembentukan diri sendiri menjadi apa yang ia inginkan.

Tentunya kita bisa belajar pada mereka dengan memfokuskan Ki sebagai sistem nilai kita dengan menyusunnya satu demi satu yaitu apa yang kita peroleh dari pendidikan, penglaman, agama, etika, dan persepsi kita tentang siapa kita dan mau jadi apa kita! Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi bahan kajuan dan bermanfaat. (IGA)

Sumber:
penulis: Kushadiyanto, S. Psi. (Duel online @ http://duel.melsa.net.id/05psiko.html) dengan sedikit editing dari admin
READ MORE - Inner Power (1)

Senin, Oktober 20, 2008

Buka Wawasan Seni Beladiri


SEBAGIAN besar metode belajar dan mengajar seni beladiri di tanah air adalah latihan fisik. Ya, nyaris 90 persen yang diajarkan di tempat latihan adalah bagaimana cara memukul, menendang, membanting, mengunci, bergumul, menggunakan senjata dan mempraktikkan jurus-jurus.

Sementara penyampaian tentang ilmu pengetahuan baik meliputi sejarah, filosofi dan wawasan seni beladiri hanya 10 persen. Bahkan mungkin ada yang 100 persen hanya latihan fisik tanpa menyisakan porsi ilmu pengetahuan.

Semestinya, ilmu pengetahuan tentang seni beladiri jangan dikesampingkan. Penyampaian secara lisan atau tulisan dari pelatih itu penting, agar murid-murid tak hanya tahu teknik membeladiri tapi juga memahami tentang seni beladiri yang mereka pelajari. Bagus lagi mengetahui apa dan bagaimana seni beladiri yang lain.

Akibat kurangnya porsi penyampaian ilmu pengetahuan, banyak murid-murid di tempat latihan yang tidak tahu sejarah seni beladiri yang selama ini mereka pelajari. Tidak tahu dan tidak memahami filosofi yang sebenarnya banyak mengandung nilai moral. Begitupula berwawasan seadanya.

Satu fenomena yang pernah terjadi ketika seorang murid seni beladiri Taekwondo dari sebuah dojang mempertontonkan sekeping VCD tentang Taekwondo kepada temannya yang juga murid sebuah disiplin beladiri.

Saat menyimak tayangan VCD, sang teman bertanya kenapa seragam yang digunakan peraga di video itu berbeda dengan seragam Taekwondo umumnya di Indonesia. Di video mengenakan dobok (seragam Taekwondo) berstrip hitam pada kedua lengan baju dan sisi luar celana panjang, sementara biasanya di Indonesia yang sering dilihat adalah dobok tanpa strip kecuali bagian leher berbentuk V berwarna hitam (khusus sabuk hitam).

Dengan yakin si murid Taekwondo menjawab, dobok di Korea memang seperti itu. Beda dengan di Indonesia.

Lho?

Padahal yang benar adalah VCD yang diputar itu tentang Taekwondo dari organisasi ITF (International Taekwondo Federation), sementara di Indonesia Taekwondo yang berkembang adalah dari organisasi WTF (World Taekwondo Federation). Sehingga berbeda baik dari segi seragam maupun tekniknya.

Adapula kejadian seorang murid Karate Shotokan yang ironisnya tidak tahu dengan Gichin Funakoshi. Ia hanya tahu Funakoshi itu adalah nama salah satu perguruan Karate yang tergabung dalam FORKI.

Uniknya lagi, ada satu kumpulan karateka dari sebuah perguruan yang tekniknya berbeda-beda. Mestinya mereka seragam dalam mempraktikkan teknik, nyatanya masing-masing tidak sama, sehingga kadang terjadi diskusi bahkan perdebatan kecil. Padahal biasanya beberapa perguruan Karate punya afiliasi (atau bolehlah dibilang kiblat) organisasi atau perguruan di luar negeri, misalnya di Jepang, sehingga soal teknik mengadopsi dari afiliatornya.

Selain soal perbedaan teknik dalam satu perguruan, juga terjadi salah kaprah dalam penyebutan kata atau istilah dalam bahasa Jepang.

Itu hanya ketidaktahuan pada seni beladiri yang mereka pelajari. Belum lagi tentang seni beladiri yang lain dan segala perkembangan dalam dunia seni beladiri.

Di mana salahnya?

Kesalahan itu ada pada diri kita masing-masing yang tidak mau belajar.

Banyak buku maupun VCD/DVD tentang seni beladiri yang dijual di pasaran, tapi kita malas membeli apalagi membaca. Demikian pula media internet tidak dimanfaatkan untuk mempelajari seni beladiri, padahal segala yang ingin kita ketahui mudah dicari, baik informasi berupa tulisan (buku, majalah on line), foto maupun visual (klip video).

Nah, kurang apa lagi?

Tinggal bagaimana minat kita untuk menggali sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan tentang seni beladiri.

written by harry
READ MORE - Buka Wawasan Seni Beladiri

Pelatih Profesional dan Sosial



ANDA pelatih seni beladiri? Oke, selama ini apa yang Anda dapatkan dari hasil melatih seni beladiri? Kepuasan batin atau uang?

Mungkin jika dilakukan polling (khususnya di Indonesia), menurut perkiraaan saya akan muncul tiga jawaban; 1) melatih memberi kepuasan batin, 2) melatih mendatangkan uang, 3) melatih memberikan kepuasan batin sekaligus mendatangkan uang.

Memilih jawaban pertama mungkin karena responden atau pelatih seni beladiri tersebut memang berjiwa sosial. Ia tidak memikirkan materi dalam memberikan ilmu. Terpenting adalah ilmu yang diberikan dapat bermanfaat bagi orang lain.

Bisa pula pelatih tersebut secara materi tidak kekurangan atau sudah mapan, sehingga melatih hanya penyaluran hobi sekaligus menjaga kebugaran dan mempertahankan penguasaan teknik.

Memilih jawaban kedua, ada beberapa kemungkinan alasan. Bisa karena berpandangan bahwa yang diajarkan adalah ilmu dan ilmu tersebut layak untuk dihargai secara materi. Toh, wajar jika kemudian ia dibayar karena untuk mendapatkan ilmu tersebut sebelumnya ia juga harus mengeluarkan uang dan menyediakan waktu.

Alasan lain, secara materi pelatih tersebut masih kekurangan, sehingga perlu tambahan penghasilan dari melatih seni beladiri.

Memilih jawaban ketiga, karena beralasan hobi bisa mendatangkan uang. Seperti halnya pelukis yang dari hobinya itu kemudian dapat memberikan rezeki, demikian pula hobi menyanyi, bermain musik dan lain sebagainya, bisa berkorelasi dengan uang.

Dari ketiga jawaban di atas, mungkin ada yang sesuai dengan jawaban kita.

Garis besarnya, ada pelatih yang tidak mementingkan uang dan ada yang mementingkan uang. Boleh diistilahkan ada pelatih berprinsip sosial ada pelatih berprinsip profesionalisme.

Antara keduanya sah-sah saja. Tergantung pribadi pelatih masing-masing.

Olahraga seperti halnya seni beladiri sebenarnya tidak haram untuk dijadikan lahan mencari rezeki. Adalah hal yang wajar jika pelatih menetapkan bayaran atas jerih payahnya dengan catatan tidak terlalu materialistis.

Profesionalisme memang diperlukan, karena selama ini di Indonesia hanya sedikit cabang olahraga yang bisa menopang kehidupan para atlet maupun pelatih. Olahraga yang menjajikan materi, misalnya sepak bola, tenis lapangan dan tinju. Sedangkan seni beladiri macam pencak silat, karate, judo, jujutsu dan sebagainya hanya mendatangkan uang besar saat berprestasi di atas matras atau mungkin bernasib baik menjadi aktor film laga. Itupun temporer. Sementara di tempat latihan tak bisa berbicara banyak untuk menjamin kehidupan.

Di negara maju, contohnya Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, berbeda dengan di Indonesia. Para praktisi beladiri yang sudah berstatus pelatih, tidak ragu menjadikan hobinya sebagai profesi. Tempat latihan adalah tempat mencari uang.

Tempat latihan biasanya berupa ruangan, bukan lapangan atau areal terbuka. Dikelola dengan manajemen yang rapi, seperti halnya tempat kursus atau lembaga pendidikan non formal. Mereka mendapatkan uang dari siswa yang belajar, bahkan ada staf khusus yang menangani pendaftaran, pengaturan jadwal latihan dan masalah finansial sehingga kelangsungan tempat latihan dan kesejahteraan pemilik serta pelatih di situ terjamin.

Aktivitas harian para pelatih adalah full time melatih. Hanya sedikit yang bekerja paruh waktu. Jadi profesionalisme benar-benar dijalankan, karena melatih adalah pekerjaan.

Sistem latihan ada yang regular adapula yang paket. Bagi yang ingin privat pun dilayani. Tentunya ada perbedaan biaya dari pembagian sistem latihan ini. Di sinilah harga dari sebuah ilmu dinilai.

Dengan manajemen yang tertata, tempat latihan pun bahkan bisa beriklan di media massa seperti halnya perusahaan mempromosikan produknya. Media digunakan tak hanya cetak dan elektronik, juga media internet.

Sebagai diversifikasi usaha, banyak pula pelatih yang menulis buku dan membuat video beladiri (VC/DVD). Pasarnya tak hanya para murid tapi juga khalayak umum.

Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa sebenarnya sudah mulai bermunculan praktisi beladiri yang berani memprofesionalkan diri, meski tak banyak yang full time. Membuka tempat latihan representatif lengkap dengan peralatan dan menerapkan manajemen.

Bagi praktisi seni beladiri di daerah, bisa meniru hal itu. Dengan prinsip ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi) profesionalisme bisa mulai dijalankan. Jika selama ini lebih banyak berharap dari melatih privat, sekarang dapat lebih meningkatkan penghasilan dengan mengelola tempat latihan secara profesional.

Tak perlu banyak memberikan janji, misalnya tempat latihan tersebut dapat mencetak atlet berprestasi, karena ujungnya hanya menimbulkan beban bagi pelatih. Selain itu motivasi murid tak semuanya ingin jadi atlet. Utamanya, mereka ingin memiliki bekal pertahanan diri sekaligus berolahraga.

Terpenting dalam mengelola tempat latihan adalah menjaga hubungan emosional yang baik antara pelatih dan murid. Tentunya kalau mereka merasa nyaman berlatih, kontinuitas latihan tidak terputus dan tidak ada murid yang berhenti setelah satu atau dua bulan berlatih.
READ MORE - Pelatih Profesional dan Sosial

Ditebas dengan Samurai!



Indonesia kaya seni dan budaya. Salah satu bentuk kekayaan seni dan budaya itu berupa beranekaragamnya senjata khas tradisional. Masing-masing daerah atau provinsi memiliki senjata khas tradisional warisan para leluhur yang hingga kini tetap lestari.

Orang Jawa punya keris. Orang Madura punya clurit, orang Sulawesi punya badik, Orang Sumatera punya rencong orang Kalimantan punya mandau, serta senjata khas tradisional lainnya yang dimiliki masing-masing daerah.

Seperti halnya Indonesia, bangsa lain pun punya senjata khas tradisional yang sangat beragam. Jika disebutkan satu per satu nama negara berikut senjata khas tradisionalnya, tentunya sangat panjang. Ambil satu contoh saja, negara Jepang. Negeri matahari terbit ini punya salah satu senjata khas tradisional yang sangat dikenal di seantero jagat, yaitu pedang.

Pedang Jepang berbentuk agak melengkung yang umumnya berukuran panjang antara 1-1,5 meter ini memiliki satu sisi tajam. Tangkai pegangan cukup leluasa untuk digenggam baik dengan satu tangan atau dua tangan. Pada praktiknya, penggunaan pedang ini lebih dominan ditebaskan dibanding ditusukkan.

Masyarakat Indonesia sangat mengenal senjata tajam yang satu ini. Sebagai negeri yang pernah dijajah bangsa Jepang, orangtua atau kakek-nenek kita pasti sering melihat pedang ini bergantung di pinggang para kenpetai alias serdadu Jepang.

Samurai, demikian umumnya masyarakat Indonesia menyebut pedang Jepang ini.

Bagi orang Jepang yang mendengar penamaan pedang ini di Indonesia dengan sebutan samurai, mungkin akan bingung, heran atau tersenyum simpul.

Soalnya bagi orang Jepang sebutan samurai adalah ditujukan bagi para ksatria tempo dulu. Mereka adalah ahli beladiri yang selalu membawa dua bilah pedang; satu panjang dan satu pendek.

Sementara pedang panjang yang digunakan para samurai itu dinamakan katana. Jadi sungguh mengundang senyum jika kemudian malah pedang tersebut dinamakan samurai.

Memang salah kaprah. Uniknya, banyak orang Indonesia yang paham bahasa Jepang tetapi tidak membetulkan kekeliruan tersebut. Akhirnya tak heran jika kemudian media massa pun tertular salah dengan menulis kata samurai jika menyebutkan nama pedang Jepang ini.

Jika penyebutannya adalah pedang samurai, dengan pengertian pedangnya para samurai, tentunya masih tepat, tetapi jika misalnya kita berujar; “ditebas dengan samurai!” tentulah kesalahan kata yang menggelikan. Berarti ditebas dengan manusia…
READ MORE - Ditebas dengan Samurai!

Sabtu, Oktober 18, 2008

Mix Martial Arts (1)


Mix Martial Arts (MMA) terjemahan bebasnya bolehlah diartikan: beladiri campuran atau kalau mau diartikan sedikit 'konyol'; beladiri gado-gado.

Beladiri ini populer di Amerika Serikat mulai era 90-an. Mungkin setelah klan Gracie dari Brazillian Jiu-Jitsu (BJJ) memperkenalkan turnamen beladiri 'brutal' berlabel Universal Fighting Championship (UFC) yang kini terus berlangsung.

UFC = Brutal? Ya, UFC seri awal memang terkesan brutal bagi sebagian praktisi beladiri apalagi orang awam. Beladiri bersistem hard contact pun mungkin tidak sekasar pertarungan UFC kala itu.

UFC (seri awal) nyaris tak mengenal aturan. Peserta tidak berklasifikasi berat badan dan usia, semua praktisi beladiri dari disiplin beladiri apapun silakan mendaftar. Mau pakai seragam beladiri, kaos oblong atau telanjang dada plus celana pendek, tak ada larangan.

Dalam arena UFC berbentuk segi delapan berdinding kawat, memang ada seorang wasit, namun kedua kontestan yang tubuhnya tanpa pelindung dan tidak bersarung tangan itu boleh baku pukul dan tendang sekerasnya. Siku dan lutut pun boleh melayang ke wajah.

Kalau jatuh ke lantai setelah dipukul, ditendang atau dibanting, silakan bergumul sebebasnya. Main kunci, piting, jambak, (mungkin cakar, cubit & gigit boleh juga) dipersilakan.

Tak ada batasan waktu pertandingan. Pokoknya kalau salah satu peserta menyerah (menepuk lantai/badan) atau istilahnya tap out, barulah pertandingan selesai. Tulang patah dan darah mengucur (syukur tak ada yang hilang nyawa) usai kedua peserta dipisah adalah hal lazim.

Setelah diprotes parlemen Amerika Serikat, pertandingan yang ditayangkan di TV kabel itu pun berangsur 'diperhalus'. Aturan kemudian diterapkan, di antaranya menggunakan sarung tangan khusus, tak ada jambakan rambut, sikut dan hantaman lutut.

Meski demikian, tontonan tetap menarik.

Keluarga Gracie sukses mempromosikan beladiri mereka, BJJ, melalui ajang UFC yang mereka ciptakan. Royce Gracie salah satu putra Helio Gracie (head master BJJ) tiga kali menjuarai secara beruntun UFC (seri I, II, III).

Keberhasilan memperkenalkan BJJ lebih luas di USA, diikuti semakin trennya seni beladiri inovasi-modifikasi; Mix Martial Arts.

Praktisi beladiri yang biasanya hanya belajar stand up fighting (pertarungan berdiri), ramai-ramai berlatih ground fighting (pertarungan di bawah/bergumul). Saling melengkapi teknik agar bisa bertarung dalam berbagai kondisi.

UFC memang membooming tren MMA. Meski sebenarnya MMA sudah lama muncul berpuluh tahun lalu. Bahkan beberapa seni beladiri yang sudah lama populer dan banyak pengikutnya pun berkategori MMA.

Satu contoh dari sekian banyak fakta: karate. Munculnya berbagai aliran karate baik di Okinawa, Jepang maupun di berbagai negara, beberapa di antaranya adalah hasil modifikasi dan inovasi sang pendiri aliran tersebut.

Gichin Funakoshi belajar seni beladiri tradisional Okinawa (termasuk Kobudo; beladiri bersenjata) pada dua master beladiri; Yasutsune Itosu dan Azato. Aliran yang dipelajarinya pun berbeda, Naha-Te dan Shuri-Te. Kemudian dikombinasi menjadi seni beladiri yang dinamakannya Karate. Sejumlah KATA (rangkaian gerak/jurus) yang diajarkan Funakoshi pun hasil modifikasi dari teknik yang diterima sebelumnya dari para gurunya. Wajar jika kemudian KATA aliran Shotokan berbeda dengan aliran karate lain, macam Goju-Ryu dan Shito-Ryu.

Era Karate modern, Wado-Ryu adalah salah satu contoh MMA. Aliran ini kombinasi antara Karate (Shotokan, Shito Ryu) dan Jujutsu. Sedangkan di Indonesia, ada Porbikawa (Persatuan Olahraga Beladiri Karate Ishikawa Indonesia) --maaf kalau salah tulis, red. Perguruan anggota FORKI ini kombinasi dari karate, pencak silat, kungfu, jujutsu dan judo. Selain itu masih banyak lagi aliran karate baru hasil combine dengan beladiri lain, terutama di USA.

Salahkah menciptakan MMA ?

Bagi sebagian orang mungkin tak menyukai MMA, mungkin dengan alasan tidak ingin orisinalitas sebuah seni beladiri hilang akibat dicampuraduk. Bisapula fanatisme pada perguruan atau aliran sehingga seni beladirinya dianggap sudah komplet dari segi teknik dan keilmuan.

Anggapan seperti di atas tak salah. Semua orang bebas berpendapat dan punya hak menentukan pilihan.

Sementara sebagian orang yang lain berpandangan MMA itu hal yang wajar. Mungkin beralasan bahwa pemikiran skeptis akan membuat stagnan. Artinya, perubahan zaman selalu terjadi dalam berbagai hal kehidupan, termasuk seni beladiri. Perkembangan tersebut harus diikuti agar tak ketinggalan wawasan dan pengetahuan.

Manusia mempunyai otak untuk berpikir, sehingga wajar jika kemudian menganalisa teknik seni beladiri yang dimilikinya. Apakah hanya bisa digunakan untuk bertanding atau dengan praktis bisa pula diaplikasi saat perlu membeladiri di jalanan?

Jika merasa ada kekurangan, tak salah jika mengadopsi teknik seni beladiri lain, meski kemudian teknik tersebut diapresiasi seusai gaya beladiri kita geluti sebelumnya. Dengan demikian khazanah pengetahuan dan perbendaharaan teknik akan semakin kaya.

Tak ada seni beladiri yang paling sempurna. Semua punya kelebihan dan kekurangan. Nah, maksud MMA itu adalah mengombinasi agar kekurangan yang satu dapat ditutupi yang lain, sehingga paling tidak sebuah seni beladiri akan efektif terutama dalam aplikasi keseharian.

Namun kembali kepada kita semua. Bisa menerima MMA atau tidak adalah hak pribadi masing-masing.
READ MORE - Mix Martial Arts (1)

Kamis, Oktober 16, 2008

Seniman Beladiri


Seniman Beladiri. Istilah ini terinspirasi dari buku yang ditulis Sensei Ben Haryo ( DAN 5 Goshibudo Jujutsu Indonesia, DAN 3 Dentokan Aiki Jujutsu & DAN 3 Wadokai Karate).

Ya, sesuai namanya, seni beladiri atau martial art adalah sebuah ilmu atau teknik membeladiri yang tidak asal gerak tetapi mengandung nilai seni. Seperti halnya menggambar di kertas, tidak asal coret tetapi ada garis dan warna yang rapi, indah dan harmoni.

Keindahan seni beladiri salah satu contohnya adalah pada rangkaian gerak atau diistilahkan dengan jurus, kembangan (pencak silat), kata (karate), keng (shorinji kempo) atau nama lainnya. Rangkaian gerak tersebut baik dilakukan tanpa senjata/tangan kosong maupun dengan senjata.
Keindahan seni beladiri juga bisa ditemukan saat melakukan peragaan teknik beladiri macam embu & bunkai (karate/kempo).

Sebagai seni, beladiri memang indah dan bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang menakjubkan. Jika kita bisa menjiwai ilmu beladiri, seninya akan semakin terasa dan kian memberi pemahaman apa itu seni beladiri.

Umumnya alasan pertama orang belajar pencak silat, karate, judo, jujutsu, shorinji kempo, taekwondo dan sebagainya, adalah untuk memperoleh cara atau teknik bagaimana menghadapi ancaman fisik dan psikis di keseharian yang mungkin saja terjadi.

Selain itu adapula dengan alasan ingin menjadi atlet agar bisa mengoleksi tropi dan medali serta mendapat ketenaran. Sekalian pula kalau memang beruntung, bisa mendapat rezeki dari prestasi tersebut (dapat hadiah/bonus, jadi aktor, bintang iklan, dsb).

Adapula yang beralasan ikut latihan beladiri sebagai pilihan cabang olahraga yang ingin digeluti. Artinya dengan latihan beladiri, kondisi fisik akan prima, karena banyak praktisi beladiri yang berusia lanjut fisiknya alhamdulillah relatif masih segar.

Tidaklah salah alasan-alasan di atas. Belajar seni beladiri memang ada tiga tujuan.
Pertama, dengan seni beladiri kita akan mampu membeladiri jika tak ada jalan lain untuk menghindar dari ancaman atau kekerasan fisik.
Kedua, dengan beladiri kita bisa meraih prestasi dengan mengikuti berbagai pertandingan.
Ketiga, secara otomatis fisik akan sehat karena seni beladiri adalah cabang olahraga.

Secara otomatis, dengan berlatih beladiri tujuan memperoleh ilmu membeladiri dan olahraga akan didapat. Sedangkan tujuan memproleh prestasi adalah sebuah pilihan. Praktisi beladiri yang berbakat menjadi atlet dapat berkarir dalam setiap kejuaraan, sedangkan yang tidak ingin berkompetisi silakan tekun berlatih untuk mempelajari setiap teknik.

Setelah berlatih beladiri dalam beberapa waktu (bisa hitungan bulan atau tahun) biasanya orang akan menemukan arti atau pemahaman sebenarnya dari beladiri yang diikuti. Tentunya seni dalam beladiri akan ditemukan jika kita mau belajar beladiri tak hanya secara fisik tetapi pula kejiwaan, karena dalam beladiri banyak kandungan filosofis yang sangat mendalam dan bermanfaat bagi kehidupan praktisinya.

Seorang praktisi beladiri yang sudah menemukan arti seni dalam beladiri dia akan terus belajar dan belajar, baik melalui latihan fisik maupun latihan psikis (kejiwaan). Menambah cakrawala pengetahuannya tentang beladiri, tak hanya meliputi beladiri yang dipelajari selama ini, tetapi pula tentang beladiri lain baik lokal maupun impor.

Bukan kemudian ingin menjadi yang terhebat atau jawara, tetapi ingin menjadikan diri sebagai praktisi beladiri yang kaya ilmu, luas wawasan dan pengetahuan serta yang terpenting punya jiwa yang luhur.
READ MORE - Seniman Beladiri

Senin, Oktober 13, 2008

Blackbelt


Bagi sebagian praktisi beladiri, khususnya yg mempelajari beladiri asal Jepang, merupakan suatu kebanggaan jika jerih payahnya latihan akhirnya berbuah penghargaan seikat sabuk berwarna hitam ini.

Sebuah simbol seorang praktisi beladiri telah menyandang status pelatih.

Istilah beladiri Jepang, para penyandang sabuk hitam disebut Yudansha yang terkelompok dalam beberapa sebutan sesuai tingkatan sabuk hitam (DAN). Sempai/Senpai biasanya diistilahkan untuk penyandang sabuk hitam (yudansha) DAN I-III, Sensei bagi penyandang DAN IV-V dan Shihan untuk DAN VI-VIII atau bisa pula DAN IX-V).

Idealnya, setelah 5 sampai 7 tahun berlatih tekun dan terus mengikuti ujian di tingkat Kohai (sabuk putih s.d. coklat), barulah diperoleh kesempatan diuji untuk memperoleh sabuk hitam.

Setelah menyandang sabuk hitam, capek dan letihnya sebagai kohai, sirnalah sudah. Amarah dan bentakan pelatih tak lagi terdengar, karena posisinya sekarang adalah orang yang melatih. Sekarang giliran sang yudansha baru menggembleng kohai dengan sesekali membentak atau mungkin melakukan tindakan 'arogansi' dengan tangan dan kaki juga benda keras.

Demikiankah seorang sabuk hitam?

Bahkan mungkin ada segelintir yudansha yang beranggapan setelah memperoleh ijazah/sertifikat dan menyandang sabuk hitam (meski baru DAN I) tamatlah sudah ilmu yang dipelajarinya dari beladiri tersebut. Semua sudah didapatkan saat menjadi kohai, sehingga tatkala sabuk hitam melingkar di pinggang yang ada hanya melatih atau mungkin istirahat latihan, karena alasan tadi, ilmu yang dipelajari sudah habis.

Padahal, sabuk hitam adalah awal sebenarnya seseorang berlatih seni beladiri. Tingkat sabuk hitam adalah masa di mana seorang praktisi terus memperbaiki teknik dan keilmuannya, karena saat berstatus kohai adalah masa di mana dasar-dasar teknik dibentuk.

Ilmu beladiri sejati, tak habis oleh tingkatan yang disimbolkan dengan sabuk. Jika kita mau terus berlatih dan berlatih akan merasa bahwa ilmu beladiri itu luas dan banyak sekali, sehingga kita tak boleh berhenti belajar.

Tingkatan DAN dalam sabuk hitam bukan semata hirarki tetapi menandakan kemampuan si penyandang. Seorang DAN II tentunya dari segi penguasaan teknik, pengetahuan dan kematangan jiwa akan lebih bagus dari DAN I. Demikian seterusnya.

Fenomena di tanah air, masih cukup banyak yudansha yang kemampuannya stagnan bahkan cenderung menurun, baik segi teknik maupun fisik terlebih pengetahuan dan wawasan serta kematangan jiwa, akibat pandangan sempit tentang arti sabuk hitam.

Hanya sedikit pemegang sabuk hitam terutama DAN III ke atas yang memiliki kemampuan sesuai dengan tingkatan DAN-nya.

Berbeda dengan di Jepang atau mungkin negara lain macam di Amerika dan Eropa. Lihat saja, para master atau ahli beladiri di sana meski berusia lanjut tapi kemampuan beladirinya masih terjaga, fisik mereka pun tetap prima.

Tentunya karena mereka tak berhenti berlatih selain melatih. Seperti halnya sebilah pisau akan terjaga ketajamannya kalau dirawat dengan baik, bukannya digeletakkan begitu saja atau cuma disarungkan tanpa pernah diasah.

Tak jarang ada yudansha yang hadir ke tengah publik beladiri saat ada kegiatan semata. Sekedar aktualisasi, aku seorang sabuk hitam penyandang DAN III atau V. Sementara di dojo tak kelihatan batang hidungnya. Demikian pula di rumah, sabuk dan seragam beladirinya bergantung begitu saja di kapstok atau dilipat di lemari.

Di tengah kegiatan, misalnya gashuku atau ujian, yudansha seperti ini biasanya hanya suka pamer diri. Sementara tatkala diminta unjuk teknik, beringsut mundur ke belakang karena sadar diri. Bahkan kadang gashuku dijadikan ajang mengembalikan memori atas lupanya dengan teknik yang pernah dipelajari. Lucu memang. Ada saja yudansha yang mengulang belajar teknik yang sebenarnya 'kurikulum' para kohai.
READ MORE - Blackbelt
Web Hosting


IndoBanner Exchanges