Sabtu, Oktober 18, 2008

Mix Martial Arts (1)


Mix Martial Arts (MMA) terjemahan bebasnya bolehlah diartikan: beladiri campuran atau kalau mau diartikan sedikit 'konyol'; beladiri gado-gado.

Beladiri ini populer di Amerika Serikat mulai era 90-an. Mungkin setelah klan Gracie dari Brazillian Jiu-Jitsu (BJJ) memperkenalkan turnamen beladiri 'brutal' berlabel Universal Fighting Championship (UFC) yang kini terus berlangsung.

UFC = Brutal? Ya, UFC seri awal memang terkesan brutal bagi sebagian praktisi beladiri apalagi orang awam. Beladiri bersistem hard contact pun mungkin tidak sekasar pertarungan UFC kala itu.

UFC (seri awal) nyaris tak mengenal aturan. Peserta tidak berklasifikasi berat badan dan usia, semua praktisi beladiri dari disiplin beladiri apapun silakan mendaftar. Mau pakai seragam beladiri, kaos oblong atau telanjang dada plus celana pendek, tak ada larangan.

Dalam arena UFC berbentuk segi delapan berdinding kawat, memang ada seorang wasit, namun kedua kontestan yang tubuhnya tanpa pelindung dan tidak bersarung tangan itu boleh baku pukul dan tendang sekerasnya. Siku dan lutut pun boleh melayang ke wajah.

Kalau jatuh ke lantai setelah dipukul, ditendang atau dibanting, silakan bergumul sebebasnya. Main kunci, piting, jambak, (mungkin cakar, cubit & gigit boleh juga) dipersilakan.

Tak ada batasan waktu pertandingan. Pokoknya kalau salah satu peserta menyerah (menepuk lantai/badan) atau istilahnya tap out, barulah pertandingan selesai. Tulang patah dan darah mengucur (syukur tak ada yang hilang nyawa) usai kedua peserta dipisah adalah hal lazim.

Setelah diprotes parlemen Amerika Serikat, pertandingan yang ditayangkan di TV kabel itu pun berangsur 'diperhalus'. Aturan kemudian diterapkan, di antaranya menggunakan sarung tangan khusus, tak ada jambakan rambut, sikut dan hantaman lutut.

Meski demikian, tontonan tetap menarik.

Keluarga Gracie sukses mempromosikan beladiri mereka, BJJ, melalui ajang UFC yang mereka ciptakan. Royce Gracie salah satu putra Helio Gracie (head master BJJ) tiga kali menjuarai secara beruntun UFC (seri I, II, III).

Keberhasilan memperkenalkan BJJ lebih luas di USA, diikuti semakin trennya seni beladiri inovasi-modifikasi; Mix Martial Arts.

Praktisi beladiri yang biasanya hanya belajar stand up fighting (pertarungan berdiri), ramai-ramai berlatih ground fighting (pertarungan di bawah/bergumul). Saling melengkapi teknik agar bisa bertarung dalam berbagai kondisi.

UFC memang membooming tren MMA. Meski sebenarnya MMA sudah lama muncul berpuluh tahun lalu. Bahkan beberapa seni beladiri yang sudah lama populer dan banyak pengikutnya pun berkategori MMA.

Satu contoh dari sekian banyak fakta: karate. Munculnya berbagai aliran karate baik di Okinawa, Jepang maupun di berbagai negara, beberapa di antaranya adalah hasil modifikasi dan inovasi sang pendiri aliran tersebut.

Gichin Funakoshi belajar seni beladiri tradisional Okinawa (termasuk Kobudo; beladiri bersenjata) pada dua master beladiri; Yasutsune Itosu dan Azato. Aliran yang dipelajarinya pun berbeda, Naha-Te dan Shuri-Te. Kemudian dikombinasi menjadi seni beladiri yang dinamakannya Karate. Sejumlah KATA (rangkaian gerak/jurus) yang diajarkan Funakoshi pun hasil modifikasi dari teknik yang diterima sebelumnya dari para gurunya. Wajar jika kemudian KATA aliran Shotokan berbeda dengan aliran karate lain, macam Goju-Ryu dan Shito-Ryu.

Era Karate modern, Wado-Ryu adalah salah satu contoh MMA. Aliran ini kombinasi antara Karate (Shotokan, Shito Ryu) dan Jujutsu. Sedangkan di Indonesia, ada Porbikawa (Persatuan Olahraga Beladiri Karate Ishikawa Indonesia) --maaf kalau salah tulis, red. Perguruan anggota FORKI ini kombinasi dari karate, pencak silat, kungfu, jujutsu dan judo. Selain itu masih banyak lagi aliran karate baru hasil combine dengan beladiri lain, terutama di USA.

Salahkah menciptakan MMA ?

Bagi sebagian orang mungkin tak menyukai MMA, mungkin dengan alasan tidak ingin orisinalitas sebuah seni beladiri hilang akibat dicampuraduk. Bisapula fanatisme pada perguruan atau aliran sehingga seni beladirinya dianggap sudah komplet dari segi teknik dan keilmuan.

Anggapan seperti di atas tak salah. Semua orang bebas berpendapat dan punya hak menentukan pilihan.

Sementara sebagian orang yang lain berpandangan MMA itu hal yang wajar. Mungkin beralasan bahwa pemikiran skeptis akan membuat stagnan. Artinya, perubahan zaman selalu terjadi dalam berbagai hal kehidupan, termasuk seni beladiri. Perkembangan tersebut harus diikuti agar tak ketinggalan wawasan dan pengetahuan.

Manusia mempunyai otak untuk berpikir, sehingga wajar jika kemudian menganalisa teknik seni beladiri yang dimilikinya. Apakah hanya bisa digunakan untuk bertanding atau dengan praktis bisa pula diaplikasi saat perlu membeladiri di jalanan?

Jika merasa ada kekurangan, tak salah jika mengadopsi teknik seni beladiri lain, meski kemudian teknik tersebut diapresiasi seusai gaya beladiri kita geluti sebelumnya. Dengan demikian khazanah pengetahuan dan perbendaharaan teknik akan semakin kaya.

Tak ada seni beladiri yang paling sempurna. Semua punya kelebihan dan kekurangan. Nah, maksud MMA itu adalah mengombinasi agar kekurangan yang satu dapat ditutupi yang lain, sehingga paling tidak sebuah seni beladiri akan efektif terutama dalam aplikasi keseharian.

Namun kembali kepada kita semua. Bisa menerima MMA atau tidak adalah hak pribadi masing-masing.
READ MORE - Mix Martial Arts (1)

Kamis, Oktober 16, 2008

Seniman Beladiri


Seniman Beladiri. Istilah ini terinspirasi dari buku yang ditulis Sensei Ben Haryo ( DAN 5 Goshibudo Jujutsu Indonesia, DAN 3 Dentokan Aiki Jujutsu & DAN 3 Wadokai Karate).

Ya, sesuai namanya, seni beladiri atau martial art adalah sebuah ilmu atau teknik membeladiri yang tidak asal gerak tetapi mengandung nilai seni. Seperti halnya menggambar di kertas, tidak asal coret tetapi ada garis dan warna yang rapi, indah dan harmoni.

Keindahan seni beladiri salah satu contohnya adalah pada rangkaian gerak atau diistilahkan dengan jurus, kembangan (pencak silat), kata (karate), keng (shorinji kempo) atau nama lainnya. Rangkaian gerak tersebut baik dilakukan tanpa senjata/tangan kosong maupun dengan senjata.
Keindahan seni beladiri juga bisa ditemukan saat melakukan peragaan teknik beladiri macam embu & bunkai (karate/kempo).

Sebagai seni, beladiri memang indah dan bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang menakjubkan. Jika kita bisa menjiwai ilmu beladiri, seninya akan semakin terasa dan kian memberi pemahaman apa itu seni beladiri.

Umumnya alasan pertama orang belajar pencak silat, karate, judo, jujutsu, shorinji kempo, taekwondo dan sebagainya, adalah untuk memperoleh cara atau teknik bagaimana menghadapi ancaman fisik dan psikis di keseharian yang mungkin saja terjadi.

Selain itu adapula dengan alasan ingin menjadi atlet agar bisa mengoleksi tropi dan medali serta mendapat ketenaran. Sekalian pula kalau memang beruntung, bisa mendapat rezeki dari prestasi tersebut (dapat hadiah/bonus, jadi aktor, bintang iklan, dsb).

Adapula yang beralasan ikut latihan beladiri sebagai pilihan cabang olahraga yang ingin digeluti. Artinya dengan latihan beladiri, kondisi fisik akan prima, karena banyak praktisi beladiri yang berusia lanjut fisiknya alhamdulillah relatif masih segar.

Tidaklah salah alasan-alasan di atas. Belajar seni beladiri memang ada tiga tujuan.
Pertama, dengan seni beladiri kita akan mampu membeladiri jika tak ada jalan lain untuk menghindar dari ancaman atau kekerasan fisik.
Kedua, dengan beladiri kita bisa meraih prestasi dengan mengikuti berbagai pertandingan.
Ketiga, secara otomatis fisik akan sehat karena seni beladiri adalah cabang olahraga.

Secara otomatis, dengan berlatih beladiri tujuan memperoleh ilmu membeladiri dan olahraga akan didapat. Sedangkan tujuan memproleh prestasi adalah sebuah pilihan. Praktisi beladiri yang berbakat menjadi atlet dapat berkarir dalam setiap kejuaraan, sedangkan yang tidak ingin berkompetisi silakan tekun berlatih untuk mempelajari setiap teknik.

Setelah berlatih beladiri dalam beberapa waktu (bisa hitungan bulan atau tahun) biasanya orang akan menemukan arti atau pemahaman sebenarnya dari beladiri yang diikuti. Tentunya seni dalam beladiri akan ditemukan jika kita mau belajar beladiri tak hanya secara fisik tetapi pula kejiwaan, karena dalam beladiri banyak kandungan filosofis yang sangat mendalam dan bermanfaat bagi kehidupan praktisinya.

Seorang praktisi beladiri yang sudah menemukan arti seni dalam beladiri dia akan terus belajar dan belajar, baik melalui latihan fisik maupun latihan psikis (kejiwaan). Menambah cakrawala pengetahuannya tentang beladiri, tak hanya meliputi beladiri yang dipelajari selama ini, tetapi pula tentang beladiri lain baik lokal maupun impor.

Bukan kemudian ingin menjadi yang terhebat atau jawara, tetapi ingin menjadikan diri sebagai praktisi beladiri yang kaya ilmu, luas wawasan dan pengetahuan serta yang terpenting punya jiwa yang luhur.
READ MORE - Seniman Beladiri

Senin, Oktober 13, 2008

Blackbelt


Bagi sebagian praktisi beladiri, khususnya yg mempelajari beladiri asal Jepang, merupakan suatu kebanggaan jika jerih payahnya latihan akhirnya berbuah penghargaan seikat sabuk berwarna hitam ini.

Sebuah simbol seorang praktisi beladiri telah menyandang status pelatih.

Istilah beladiri Jepang, para penyandang sabuk hitam disebut Yudansha yang terkelompok dalam beberapa sebutan sesuai tingkatan sabuk hitam (DAN). Sempai/Senpai biasanya diistilahkan untuk penyandang sabuk hitam (yudansha) DAN I-III, Sensei bagi penyandang DAN IV-V dan Shihan untuk DAN VI-VIII atau bisa pula DAN IX-V).

Idealnya, setelah 5 sampai 7 tahun berlatih tekun dan terus mengikuti ujian di tingkat Kohai (sabuk putih s.d. coklat), barulah diperoleh kesempatan diuji untuk memperoleh sabuk hitam.

Setelah menyandang sabuk hitam, capek dan letihnya sebagai kohai, sirnalah sudah. Amarah dan bentakan pelatih tak lagi terdengar, karena posisinya sekarang adalah orang yang melatih. Sekarang giliran sang yudansha baru menggembleng kohai dengan sesekali membentak atau mungkin melakukan tindakan 'arogansi' dengan tangan dan kaki juga benda keras.

Demikiankah seorang sabuk hitam?

Bahkan mungkin ada segelintir yudansha yang beranggapan setelah memperoleh ijazah/sertifikat dan menyandang sabuk hitam (meski baru DAN I) tamatlah sudah ilmu yang dipelajarinya dari beladiri tersebut. Semua sudah didapatkan saat menjadi kohai, sehingga tatkala sabuk hitam melingkar di pinggang yang ada hanya melatih atau mungkin istirahat latihan, karena alasan tadi, ilmu yang dipelajari sudah habis.

Padahal, sabuk hitam adalah awal sebenarnya seseorang berlatih seni beladiri. Tingkat sabuk hitam adalah masa di mana seorang praktisi terus memperbaiki teknik dan keilmuannya, karena saat berstatus kohai adalah masa di mana dasar-dasar teknik dibentuk.

Ilmu beladiri sejati, tak habis oleh tingkatan yang disimbolkan dengan sabuk. Jika kita mau terus berlatih dan berlatih akan merasa bahwa ilmu beladiri itu luas dan banyak sekali, sehingga kita tak boleh berhenti belajar.

Tingkatan DAN dalam sabuk hitam bukan semata hirarki tetapi menandakan kemampuan si penyandang. Seorang DAN II tentunya dari segi penguasaan teknik, pengetahuan dan kematangan jiwa akan lebih bagus dari DAN I. Demikian seterusnya.

Fenomena di tanah air, masih cukup banyak yudansha yang kemampuannya stagnan bahkan cenderung menurun, baik segi teknik maupun fisik terlebih pengetahuan dan wawasan serta kematangan jiwa, akibat pandangan sempit tentang arti sabuk hitam.

Hanya sedikit pemegang sabuk hitam terutama DAN III ke atas yang memiliki kemampuan sesuai dengan tingkatan DAN-nya.

Berbeda dengan di Jepang atau mungkin negara lain macam di Amerika dan Eropa. Lihat saja, para master atau ahli beladiri di sana meski berusia lanjut tapi kemampuan beladirinya masih terjaga, fisik mereka pun tetap prima.

Tentunya karena mereka tak berhenti berlatih selain melatih. Seperti halnya sebilah pisau akan terjaga ketajamannya kalau dirawat dengan baik, bukannya digeletakkan begitu saja atau cuma disarungkan tanpa pernah diasah.

Tak jarang ada yudansha yang hadir ke tengah publik beladiri saat ada kegiatan semata. Sekedar aktualisasi, aku seorang sabuk hitam penyandang DAN III atau V. Sementara di dojo tak kelihatan batang hidungnya. Demikian pula di rumah, sabuk dan seragam beladirinya bergantung begitu saja di kapstok atau dilipat di lemari.

Di tengah kegiatan, misalnya gashuku atau ujian, yudansha seperti ini biasanya hanya suka pamer diri. Sementara tatkala diminta unjuk teknik, beringsut mundur ke belakang karena sadar diri. Bahkan kadang gashuku dijadikan ajang mengembalikan memori atas lupanya dengan teknik yang pernah dipelajari. Lucu memang. Ada saja yudansha yang mengulang belajar teknik yang sebenarnya 'kurikulum' para kohai.
READ MORE - Blackbelt
Web Hosting


IndoBanner Exchanges