Apalah Artinya Sebuah Sabuk...
Hampir semua seni beladiri menerapkan sistem peringkat pada anggotanya. Peringkat itu ditandai berupa sabuk.
Setiap tingkatan berbeda warna sabuknya. Ada merah, kuning, hijau, putih, coklat, biru, hitam, jingga dan sebagainya. Soal bentuk sabuk, modelnya tergantung masing-masing perguruan.
Pergantian sabuk dari satu warna ke warna lainnya harus ditempuh melalui ujian yang meliputi ujian fisik, mental dan teknik.
Sangat melelahkan... mengubah warna sabuk saja harus berpeluh keringat, bahkan kadang memar dan luka.
Namun lelahnya menjalani proses tersebut seolah sirna ketika seikat sabuk warna baru diperkenankan melingkar di pinggang kita.
Sayangnya, proses memperoleh sabuk itu kemudian tidak dihargai oleh sang pemilik sabuk. Pulang ke rumah, sabuk dilempar begitu saja di lantai, bahkan tidak disentuh jika belum tiba jadwal latihan.
Ketika hendak memulai latihan, memakai sabuk asal-asalan. Penting adalah melingkar di pinggang dan simpulnya terikat. Beres!
Padahal, memakai sabuk ada etika tersendiri. Seperti halnya seorang guru atau pelatih tidak serta merta melemparkan begitu saja sabuk baru kepada kita saat kita dinyatakan lulus ujian. Kadang ada prosesi khusus dalam penyerahan sabuk kepada murid yang lulus. Begitu formal sehingga ada kebanggan tersendiri saat mendapat sabuk baru.
Memakai sabuk (yang kita dapatkan dengan susah payah) haruslah dengan cermat. Peganglah kedua ujung sabuk, jika ukurannya panjang, lingkarkan sebagian di salah satu tangan kita. Jangan biarkan ada bagian sabuk yang menjuntai hingga menyentuh lantai atau tanah. Praktik ini perlu dilakukan, baik saat posisi berdiri atau duduk.
Demikian pula ketika melepas, ketika simpul dibuka janganlah sabuk dibiarkan jatuh begitu saja ke kaki kita, kemudian dipungut. Sebaliknya, peganglah sabuk dengan benar. Seperti halnya ketika memasang, tak ada bagian yang menyentuh lantai saat sabuk dilepas. Selanjutnya lipat dengan baik sabuk tersebut.
Kepada murid-murid di tempat latihan, saya sering mengingatkan tata cara menghormati sabuk ini. Bukan bermaksud mendewakan atau mengagungkan benda berbahan kain yang dilipat dan dijahit berlapis itu, tetapi lebih pada menghargai proses kita mendapatkan sabuk tersebut.
Seperti halnya ketika anak-anak mendapatkan raport hasil belajar di sekolah. Apakah ketika pulang ke rumah dilempar begitu saja? Tidak kan? Benda berupa kertas bertulis angka dan hurup itu disimpan baik-baik, meskipun dalam penilaian sang guru menulis satu atau dua angka dengan tinta merah.
harry
Setiap tingkatan berbeda warna sabuknya. Ada merah, kuning, hijau, putih, coklat, biru, hitam, jingga dan sebagainya. Soal bentuk sabuk, modelnya tergantung masing-masing perguruan.
Pergantian sabuk dari satu warna ke warna lainnya harus ditempuh melalui ujian yang meliputi ujian fisik, mental dan teknik.
Sangat melelahkan... mengubah warna sabuk saja harus berpeluh keringat, bahkan kadang memar dan luka.
Namun lelahnya menjalani proses tersebut seolah sirna ketika seikat sabuk warna baru diperkenankan melingkar di pinggang kita.
Sayangnya, proses memperoleh sabuk itu kemudian tidak dihargai oleh sang pemilik sabuk. Pulang ke rumah, sabuk dilempar begitu saja di lantai, bahkan tidak disentuh jika belum tiba jadwal latihan.
Ketika hendak memulai latihan, memakai sabuk asal-asalan. Penting adalah melingkar di pinggang dan simpulnya terikat. Beres!
Padahal, memakai sabuk ada etika tersendiri. Seperti halnya seorang guru atau pelatih tidak serta merta melemparkan begitu saja sabuk baru kepada kita saat kita dinyatakan lulus ujian. Kadang ada prosesi khusus dalam penyerahan sabuk kepada murid yang lulus. Begitu formal sehingga ada kebanggan tersendiri saat mendapat sabuk baru.
Memakai sabuk (yang kita dapatkan dengan susah payah) haruslah dengan cermat. Peganglah kedua ujung sabuk, jika ukurannya panjang, lingkarkan sebagian di salah satu tangan kita. Jangan biarkan ada bagian sabuk yang menjuntai hingga menyentuh lantai atau tanah. Praktik ini perlu dilakukan, baik saat posisi berdiri atau duduk.
Demikian pula ketika melepas, ketika simpul dibuka janganlah sabuk dibiarkan jatuh begitu saja ke kaki kita, kemudian dipungut. Sebaliknya, peganglah sabuk dengan benar. Seperti halnya ketika memasang, tak ada bagian yang menyentuh lantai saat sabuk dilepas. Selanjutnya lipat dengan baik sabuk tersebut.
Kepada murid-murid di tempat latihan, saya sering mengingatkan tata cara menghormati sabuk ini. Bukan bermaksud mendewakan atau mengagungkan benda berbahan kain yang dilipat dan dijahit berlapis itu, tetapi lebih pada menghargai proses kita mendapatkan sabuk tersebut.
Seperti halnya ketika anak-anak mendapatkan raport hasil belajar di sekolah. Apakah ketika pulang ke rumah dilempar begitu saja? Tidak kan? Benda berupa kertas bertulis angka dan hurup itu disimpan baik-baik, meskipun dalam penilaian sang guru menulis satu atau dua angka dengan tinta merah.
Demikian pula ketika prestasi kerja kita di kantor dihargai dengan selembar piagam, plakat atau tanda penghargaan lainnya. Apakah benda mati itu kita onggokan begitu saja di sembarang tempat? Sebaliknya ditaruh di atas meja atau dalam lemari, bahkan 'dibungkus' dengan bingkai kaca segala.
harry