Wasit-Juri Juga Manusia ... (2)
Kata orang, pertandingan seni beladiri adalah pertandingan yang tidak terukur. Maksudnya, penilaian dalam pertandingan seni beladiri itu sangat ‘kompleks’, perlu kejelian seorang wasit-juri dalam melihat sebuah teknik apakah menghasilkan poin atau tidak. Sebab seringkali teknik yang dilancarkan berlangsung cepat dan kadang nyaris sulit diikuti mata.
Berbeda halnya dengan pertandingan sepak bola, bola basket, billiard dan lainnya yang penonton pun secara jelas bisa melihat bagaimana poin dihasilkan.
Tidak terukurnya pertandingan seni beladiri, kadang dimanfaatkan segelintir orang untuk mencari kemenangan. Caranya, memanfaatkan oknum wasit-juri yang bisa diajak bekerjasama dalam menentukan penilaian.
Money politic dalam pertandingan seni beladiri, adalah sebuah fenomena. Hal itu tidak bisa kita pungkiri.
Tatkala ingin atletnya berprestasi, ada saja oknum pelatih, manajer, ofisial, bahkan orangtua atlet yang secara sembunyi melobi wasit-juri.
Lha, wasit-juri yang semestinya netral, ini kok malah ada saja yang mau diajak kompromi. Soalnya, siapa sih yang imannya kuat tatkala melihat segepok rupiah?
Dengan landasan aturan bahwa keputusan wasit-juri tidak bisa diganggu-gugat (kalaupun boleh protes, harus bayar!), oknum wasit juri itu pun bisa berdrama di atas matras. Tatkala atlet yang dijagokan maju bertanding, aktor berseragam pengadil ini pun memainkan peran di hadapan penonton.
Tak heran jika kadang-kadang terjadi kericuhan saat pertandingan berlangsung atau di akhir pertandingan. Tim manajer, pelatih, ofisial bahkan atletnya sendiri protes, kenapa teknik pukulan, tendangan atau bantingannya tidak dipoin? Padahal menurut mereka secara teknik dan arah sasaran sudah tepat.
Sementara tim lawan yang atletnya sudah diplot untuk menang, adem ayem saja.
Ya, silakan saja protes….
Tapi percuma, broer! Cuma menghabiskan air liur dan penat bertegang urat syaraf…
Toh, ujung-ujungnya keputusan itu tak bisa diganggu-gugat! Titik!
Wong, wasit-juri (bahkan mungkin dewan wasit) sudah dibayar untuk kukuh pada keputusan mereka.
Memang tidak semua wasit-juri berlaku demikian. Masih banyak mereka yang bersih, adil dan obyektif dalam menjalankan tugas yang dilandasi janji atau sumpah wasit.
Tapi, kenyataan bahwa ada oknum wasit atau juri yang bisa dilobi, bahkan ada yang menawarkan diri kepada kontingen, adalah coreng dalam dunia olahraga beladiri yang idealnya sangat menjunjung tinggi sportivitas.
Sebuah fenomena yang unik tapi ‘menarik’.
Namun jika kembali kepada khittah manusia, manusia tidak ada yang sempurna.
Ya, jika memplesetkan lagunya Band Seurieus; “…wasit-juri… juga.. manusia….”
Kita pun, bisa salah dan khilaf...
Berbeda halnya dengan pertandingan sepak bola, bola basket, billiard dan lainnya yang penonton pun secara jelas bisa melihat bagaimana poin dihasilkan.
Tidak terukurnya pertandingan seni beladiri, kadang dimanfaatkan segelintir orang untuk mencari kemenangan. Caranya, memanfaatkan oknum wasit-juri yang bisa diajak bekerjasama dalam menentukan penilaian.
Money politic dalam pertandingan seni beladiri, adalah sebuah fenomena. Hal itu tidak bisa kita pungkiri.
Tatkala ingin atletnya berprestasi, ada saja oknum pelatih, manajer, ofisial, bahkan orangtua atlet yang secara sembunyi melobi wasit-juri.
Lha, wasit-juri yang semestinya netral, ini kok malah ada saja yang mau diajak kompromi. Soalnya, siapa sih yang imannya kuat tatkala melihat segepok rupiah?
Dengan landasan aturan bahwa keputusan wasit-juri tidak bisa diganggu-gugat (kalaupun boleh protes, harus bayar!), oknum wasit juri itu pun bisa berdrama di atas matras. Tatkala atlet yang dijagokan maju bertanding, aktor berseragam pengadil ini pun memainkan peran di hadapan penonton.
Tak heran jika kadang-kadang terjadi kericuhan saat pertandingan berlangsung atau di akhir pertandingan. Tim manajer, pelatih, ofisial bahkan atletnya sendiri protes, kenapa teknik pukulan, tendangan atau bantingannya tidak dipoin? Padahal menurut mereka secara teknik dan arah sasaran sudah tepat.
Sementara tim lawan yang atletnya sudah diplot untuk menang, adem ayem saja.
Ya, silakan saja protes….
Tapi percuma, broer! Cuma menghabiskan air liur dan penat bertegang urat syaraf…
Toh, ujung-ujungnya keputusan itu tak bisa diganggu-gugat! Titik!
Wong, wasit-juri (bahkan mungkin dewan wasit) sudah dibayar untuk kukuh pada keputusan mereka.
Memang tidak semua wasit-juri berlaku demikian. Masih banyak mereka yang bersih, adil dan obyektif dalam menjalankan tugas yang dilandasi janji atau sumpah wasit.
Tapi, kenyataan bahwa ada oknum wasit atau juri yang bisa dilobi, bahkan ada yang menawarkan diri kepada kontingen, adalah coreng dalam dunia olahraga beladiri yang idealnya sangat menjunjung tinggi sportivitas.
Sebuah fenomena yang unik tapi ‘menarik’.
Namun jika kembali kepada khittah manusia, manusia tidak ada yang sempurna.
Ya, jika memplesetkan lagunya Band Seurieus; “…wasit-juri… juga.. manusia….”
Kita pun, bisa salah dan khilaf...