Senin, Maret 30, 2009

Sensei, Renshi, Kyoshi, Shihan


Sensei, renshi, kyoshi, shihan, doshu, adalah istilah yang sering diucapkan seorang murid kepada sang guru maupun terhadap seseorang yang lebih tinggi tingkatannya dalam seni beladiri Jepang/Okinawa.

Apa arti masing-masing panggilan tersebut dan bagaimana menerapkannya secara tepat?

Sistem tingkatan (kyu) yang ditandai dengan warna sabuk sangat umum digunakan dalam seni beladiri. Awalnya sistem ini diciptakan oleh Jigoro Kano, pendiri Kodokan Judo.

Kano adalah seorang pendidik bergelar professor, ia mengetahui bahwa seseorang akan memberikan respon yang lebih baik kepada tujuan jangka pendek dibandingkan dengan tujuan jangka panjang. Karena itu, Kano membagi tingkatan atau rangking untuk masing-masing tahapan untuk mendorong murid giat berlatih.

Konsep ini kemudian diadopsi oleh Gichin Funakoshi, guru besar Karate Shotokan, selanjutnya diterima pula oleh aliran karate lainnya serta berbagai perguruan seni beladiri di Jepang hingga diadopsi pula di negara lain.

Sistem ini tetap dipertahankan dan kini orang berlatih beladiri di samping untuk berprestasi juga untuk mencapai tingkatan berikutnya dengan tanda warna sabuk berbeda.

Mengenai warna, sebenarnya telah lama digunakan dalam kuil-kuil untuk membedakan tingkatan. Kano mengadaptasi konsep ini untuk mempertegas tingkatan dalam seni beladiri.

Warna putih adalah simbol kemurnian seorang pemula, warna hitam menunjukkan akumulasi pengetahuan yang diperoleh selama bertahun-tahun latihan.

Sebelum dikenal sistem sabuk, dalam dunia seni beladiri Jepang digunakan metode tingkatan dengan pemberian sertifikat khusus kepada para murid. Sertifikat pertama yang mengakui seseorang sebagai murid adlaah Shodan, artinya pemula. Sertifikat kedua, Chudan, menunjukkan tingkat menengah atau keseriusan dalam latihan. Kemudian sertifikat Jodan, di mana murid diizinkan memasuki Okuden, suatu tradisi rahasa dalam ryu (aliran beladiri).

Metode kuno lainnya menggunakan sistem lisensi Menkyo. Kelas permulaan adalah Kirikami, diberikan kepada murid yang telah berlatih selama 3 tahun. Pemberian kirikami berarti sang murid telah diterima dalam ryu sebagai praktisi yang serius. Tingkatan berikutnya adalah Mokuroku atau catatan sistem waza (teknik) yang menunjukkan sejauhmana pengetahuan murid.

Jika setelah 2-10 tahun murid tersebut telah menunjukkan dedikasinya terhadap perguruan serta memiliki kemampuan untuk mengajar, maka diberikan tingkatan Menkyo atau lisensi untuk mengajar. Pemegang lisensi ini mendapat beberapa gelar atau panggilan, antara lain Sensei, Shihan, Renshi, Kyoshio atau Hanshi, tergantung pada sistem yang dipakai masing-masing perguruan.

Tingkatan terakhir yang diberikan pada sistem Menkyo adalah Kaiden. Tingkatan ini menunjukkan bahwa murid telah mempelajari semua ilmu di perguruan atau aliran. Tingkatan ini biasanya diberikan guru besar kepada murid yang paling dekat dan dipercaya menjadi penerus.

Demikian juga panggilan menurut tingkatan, masih ada berbagai sebutan tergantung pada sistem yang digunakan. Para kepala kuil dikenal sebagai Osho atau Soke. Osho berarti serdadu perdamaian yang diterjemahkan dalam kaitan dengan kuil-kuil Budha. Soke diartikan kepala rumah.

So dikaitkan dengan seni beladiri yang lebih tepatnya diterjemahkan sebagai guru daripada kepala. Misalnya, Taisho (guru agung), Soshi atau Doshu (guru kepala), Sosho (guru suatu seni), Kaiso (cikal bakal), Shodai (guru kepala generasi pertama, meski adapula mengartikan sebagai pendiri), kemudian Nidai Soke dan Sandai Soke (generasi kedua dan ketiga).

Sementara dua istilah yang kerap salah diterjemahkan sebagai pendiri atau semacam headmaster adalah Kaicho dan Kancho. Kaicho berarti presiden asosiasi atau ryu, sedangkan Kancho adalah kepala suatu aliran yang biasanya mengajarkan ryu tertentu.

Seorang headmaster ataupun hanya murid senior dapat menjadi Kaico atau Kancho. Misalnya ketika seorang guru besar menyadari bahwa putranya sebagai pewaris perguruan masih berusia terlalu muda, sehingga sebelum meninggal ia akan menamakan putranya Sandai Soke dan memberikan gelar Kancho kepada murid paling senior.

Sensei adalah istilah generik untuk semua guru, meski sebagian organisasi memberikan gelar ini secara khusus kepada orang telah memenuhi syarat untuk mengajar. Mengajar dianggap sebagai tanggung jawab yang harus diemban, bukan merupakan hak otomatis, bersamaan dengan sabuk hitam yang diperoleh.

Jika tidak diterjemahkan secara harfiah, Sensei berarti kehidupan sebelumnya. Sebagian besar gelar Sensei dipakai untuk menandakan bahwa seseorang telah mampu mengajarkan apa yang dipikirkannya dan tingkatan kreativitas lebih tinggi belum tercapai.

Renshi adalah panggilan diberikan kepada seseorang yang qualified dan telah mengabdikan diriya kepada seorang guru besar. Terjemahan harfiahnya, guru ahli mendidik.

Kyoshi diterjemahkan sebagai instruktur senior atau instruktur kepala, sedangkan makna yang sebenarnya adalah guru yang dipercaya. Orang yang mendapat gelar ini dianggap sebagai pendukung setia dari ryu.

Shihan adalah panggilan lain yang digunakan untuk menunjukkan penguasan suatu seni beladiri. Beberapa perguruan seni beladiri ada yang menandai gelar ini dengan pemakain sabuk berwarna merah dan putih, karena penguasan ilmunya dianggap lebih tinggi dari sabuk hitam.

Salah satu panggilan paling jarang digunakan namun paling berarti dalam seni beladiri bangsa Jepang/Okinawa adalah Meijin. Biasanya diberikan kepada pelatih yang berusia lanjut dan telah menunjukkan dedikasi, komitmen dan pengabdian khusus pada seni beladiri yang dipelajarinya. Meijin berarti orang bijaksana yang berkaitan dengan kemampuan spiritualnya yang tinggi.

Source: Duel (1999)
READ MORE - Sensei, Renshi, Kyoshi, Shihan

Kamis, Maret 19, 2009

Jackie Chan + Jet Lee = Tony Jaa

Aktor laga bernama asli Panom Yeerum ini sedang naik daun di dunia perfilman Thailand, terutama bergenre martial arts.

Aksi yang memukau dengan perpaduan teknik beladiri dan akrobatik, membuat film-film Tony Jaa selalu ditunggu pecinta sinema. Tony Jaa seolah menjadi fenomena baru, ia merupakan generasi baru aktor laga Asia setelah Bruce Lee, Jackie Chan dan Jet Lee.

Istimewanya, jika selama ini aktor laga Asia yang mendunia lebih didominasi aktor dari negeri tirai bambu dan matahari terbit, sekarang dari negeri gajah putih unjuk diri.

Kemampuan beladiri mantan stuntman berusia 32 tahun ini sebagai aktor utama memang memukau. Kemampuannya bisa disejajarkan dengan aktor laga ternama lainnya.

Boleh dibilang, Tony Jaa adalah perpaduan antara Jackie Chan dan Jet Lee, dua aktor yang memang diidolakan Tony sejak muda.

Thailand mampu membuat film laga hebat yang bisa disejajarkan dengan kreasi Hongkong juga Hollywood. Thailand juga mampu melahirkan idola beladiri baru di dunia perfilman internasional.

Nah, kapan Indonesia bisa demikian? Membuat film laga berkualitas yang layak ditonton dunia internasional dengan pemain lokal yang benar-benar pribumi (bukan blasteran) dengan kemampuan beladiri tradisional negara kita.

Film laga jika dikemas dengan baik (tidak sekedar bak-bik-buk) dapat mempromosikan seni budaya kita dan mempopulerkan negara kita di mata dunia.

Tantangan bagi sineas tanah air.


READ MORE - Jackie Chan + Jet Lee = Tony Jaa

Kamis, Maret 05, 2009

Mokuso dan Mokuto


Karate diawali dengan penghormatan dan diakhiri dengan penghormatan. Demikian dikatakan Gichin Funakoshi, guru besar Shotokan.

Implementasinya di atas, di awal dan akhir latihan karate, selalu dilakukan upacara tradisional Karate atau reishiki.

Reishiki yang umum dilakukan beberapa perguruan Karate di Indonesia, urutannya yaitu;
  • Pembacaan Sumpah Karate
  • Penghormatan Bendera Merah Putih dan Lambang Perguruan
  • Menenangkan Pikiran
  • Penghormatan Kepada Pelatih
  • Penghormatan Kepada Sesama Rekan/Karateka dan Tempat Latihan

Fokus pada urutan ketiga, yakni menenangkan pikiran, aba-aba atau instruksinya adalah mokuso. Dipraktikkan dengan menundukkan kepala sejenak sambil mengatur napas dengan memejamkan mata, kemudian berdoa dalam hati.

Berkait aba-aba untuk menenangkan pikiran tersebut, Abdul Wahid dalam bukunya; Shotokan, Sebuah Tinjauan Alternatif Terhadap Aliran Karate Terbesar Di Dunia, menyatakan bahwa penyebutan yang benar adalah mokuto, bukan mokuso atau makuso.

Koreksi dalam pengucapan istilah atau kata memang perlu, apalagi bahasa yang digunakan dalam pelatihan Karate sebagian besar menggunakan bahasa Jepang yang notabene bahasa asing bagi kita.

Meski demikian timbul penasaran di hati saya untuk mencari tahu lebih jauh tentang dua kata tersebut; mokuso dan mokuto.

Ketika membuka salah satu kamus besar bahasa Jepang-Indonesia, ternyata dua kata itu tercantum dalam halaman kata-kata beralfabet M.

Berdasar kamus tersebut, mokuso artinya menenangkan pikiran atau pikiran yang tenang. Sementara mokuto berarti berdoa dalam hati.

Nah, kembali pada aba-aba saat upacara tradisional Karate, mengucapkan mokuso adalah benar dan mengucapkan mokuto juga tidak salah.

Kalau merujuk pada instruksi untuk menenangkan pikiran, kata yang tepat adalah mokuso. Sebaliknya jika maksud si pemimpin upacara adalah menginstruksikan para karateka untuk berdoa dalam hati, kata yang pas; mokuto.

harry
READ MORE - Mokuso dan Mokuto
Web Hosting


IndoBanner Exchanges